Rabu, 27 Februari 2013

PENGOLAHAN LIMBAH TAHU MENJADI “Nata de Soya” (AMDAL)

Penanganan Limbah Cair pada Proses Pembuatan Tahu dan Pembuatan Nata de Soya
Penanganan Limbah Cair pada Proses Pembuatan Tahu dan Pembuatan Nata de Soya
Selama ini air limbah tahu belum pernah dimanfaatkan sehingga dapat mencemari lingkungan sekitar khalayak mitra. Air limbah tahu adalah air sisa penggumpalan tahu (whey) yang dihasilkan selama proses pembuatan tahu.
Jika ditinjau dari komposisi kimianya, ternyata air limbah tahu mengandung nutrien-nutrien (protein, karbohidrat, dan bahan-bahan lainnya) yang jika dibiarkan dibuang begitu saja ke sungai justru dapat menimbulkan pencemaran. Tetapi jika dimanfaatkan akan menguntungkan pemilik mitra tahu atau masyarakat yang berminat mengolahnya. Whey tahu mempunyai prospek untuk dimanfaatkan sebagai media fermentasi bakteri. Limbah cair yang dihasilkan oleh industri tahu merupakan limbah organik yang degradable atau mudah diuraikan oleh mikroorganisme secara alamiah.
Pemanfaatan air limbah industri tahu untuk produk pangan yang digemari masyarakat merupakan alternatif terbaik yang dapat ditawarkan kepada pengusaha tahu. Selama ini mereka hanya memproses kedelai menjadi tahu dan membuang seluruh limbah pabrik. Pada umumnya mereka berpendapat bahwa limbah tersebut tidak bernilai ekonomis sama sekali. Padahal pemanfaatan bisa meningkatkan pendapatan dari khalayak  itu sendiri berupa pemanfaatan limbah tahu menjadi Nata de Soya.
Proses Pembuatan Nata De Soya
Nata adalah biomassa yang sebagian besar terdiri dari selulosa, berbentuk agar dan berwarna putih. Massa ini berasal pertumbuhan Acetobacter xylinum pada permukaan media cair yang asam dan mengandung gula. Nata dapat dibuat dari bahan baku air kelapa, dan limbah cair pengolahan tahu (whey). Nata yang dibuat dari air kelapa disebut dengan Nata de Coco, dan yang dari whey tahu disebut dengan Nata de Soya (dapat dilihat pada Gambar 3). Bentuk, warna, tekstur dan rasa kedua jenis nata tersebut tidak berbeda
Menurut hasil analisi gizi, Nata de Soya tergolong produk pangan yang bergizi tinggi terutama pada kandungan karbohidrat, protein dan serat kasar. Data tersebut membuktikan bahwa bakteri Acetobacter xylinum mampu mengubah air limbah tahu yang tidak bernilai menjadi suatu produk bernilai gizi tinggi (Basrah Enie & Supriatna, 1993).
Kandungan Gizi Nata de Soya dan Air Limbah Tahu dalam 100 gr
Zat Gizi
(satuan)
Nata de Soya
Air Limbah
Tahu
Karbohidrat (g)
20
2
Protein (g)
2,35
1,75
Lemak (g)
1,68
1,25
Serat kasar (g)
3,2
0,001
Kalsium (mg)
4,6
4,5
Salah satu produk pangan yang berasal dari air limbah tahu yang mempunyai prospek baik adalah pembuatan nata. Limbah tahu juga memiliki peluang ekonomis dan potensi gizi yang baik bila diolah menjadi produk pangan Nata de Soya. Selama ini yang dikenal masyarakat hanya Nata de Coco tetapi masih belum banyak yang mengetahui tentang produk nata yang berasal dan air limbah tahu yaitu Nata de Soya. Pengembangan model usaha Nata de Soya perlu dilakukan guna mengatasi pencemaran lingkungan di wilayah pemukiman sekaligus meningkatkan pendapatan dari khalayak mitra itu sendiri. Kegiatan ini bertujuan untuk membina pengusaha tahu dalam masyarakat di sekitar industri tahu dalam hubungannya dengan proses produksi, pengemasan, dan pemasaran Nata de Soya.
Proses pembuatan Nata de Soya banyak macamnya ada yang menggunakan bahan kimia murni seperti (NH4)2SO4 (Amonium sulfat); MgSO4 (Magnesium sulfat); K2HPO4 (Kalium dihidrophosphat) dan ada juga yang menggunakan bahan pengganti bahan kimia seperti ZA (Zinc ammonium), NPK ataupun urea. Tujuan bahan pengganti tersebut adalah untuk meminimalkan biaya produksi sehingga harga jual Nata de Soya lebih murah.
Menurut Wahyudi (2003), Keberhasilan dalam pembuatan nata dipengaruhi oleh viabilitas (kemampuan hidup) bakteri, kandungan nutrisi media pertumbuhan dan lingkungannya. Viabilitas bakteri yang baik akan menghasilkan nata yang baik dan cepat. Kandungan nutrisi yang cukup terutama gula sebagai sumber karbon untuk bahan baku pembentukan nata sangat diperlukan. Demikian pula ketersediaan sumber nitrogen dan mineral, walaupun tidak digunakan langsung pembentuk nata, sangat diperlukan untuk pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum.
Adapun macam dari proses pembuatan Nata de Soya diantaranya:
A. Proses Pembuatan Nata de Soya Menggunakan Bahan Kimia Murni
Bahan yang dibutuhkan untuk membuat Nata de Soya yaitu:
-   Limbah cair tahu, untuk media pertumbuhan bakteri A.xylinum.
-   Starter Nata (Kultur A.xylinum), bakteri yang berperan membentuk nata atau bacterial cellulose.
-   Gula pasir, sebagai sumber karbohidrat bagi pertumbuhan bakteri nata dan juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi metabolisrne sel bakteri tersebut.
-   (NH4)2SO4, sebagai sumber nitrogen (N) akan membantu pertumbuhan bakteri dan merangsang terbentuknya struktur nata yang tebal kompak.
-   MgSO4, sebagai sumber mineral (Mg) yang akan membantu pertumbuhan bakteri dalam membentuk nata.
-   K2HPO4, berfungsi sebagai buffer pada medium, sehingga pH akan konstan yaitu sekitar 3-4.
-   Asam asetat glasial, berfungsi untuk menurunkan pH menjadi 3-4.
-   Kertas koran steril, untuk menutup wadah fermentasi karena bakteri A.xylinum aerob dapat tumbuh baik pada kondisi aerob.
-   Karet, untuk mengikat kertas koran pada wadah fermentasi.
Sedangkan alat yang digunakan adalah baskom plastik, timbangan, kain saring halus, panci perebus, sendok pengaduk, pisau, talenan, pipet volume 10 ml, bola hisap, gelas ukur 1 lt, bak plastik ukuran 23 x 15 cm.
Berikut dijelaskan cara pembuatan Nata De Soya :
  1. Pengambilan limbah cair tahu di area produksi sebanyak 1 Liter. Limbah cair tahu yang diambil sudah mengandung sedikit cuka sisa dari proses pengendapan.
  2. Limbah cair yang telah diambil disaring menggunakan kain saring berukuran sedang yang sudah dipersiapkan dalam keadaan bersih.
  3. Limbah cair yang sudah disaring tadi dipindahkan ke dalam panci, kemudian ditambahkan bahan – bahan tambahan.
  4. Campuran cairan tadi kemudian direbus sampai mendidih, setelah itu didinginkan dan dipindahkan ke dalam wadah plastik kotak dengan ketinggian ± 6 cm.
  5. Setelah dingin, ditambahkan asam cuka glasial sebanyak 25 mL. Fungsi dari cuka glasial disini adalah untuk mengatur pH agar medium ini jadi memiliki pH optimum untuk kultur bermetabolisme. Setelah pH sudah mencapai pH optimum, kultur A.xylinum ditambahkan asebanyak 10% atau sebanyak 100 mL dengan menggunakan pipet volume yang telah di aseptis sebelumnya.
  6. Selanjutnya wadah plastik tadi ditutup dengan menggunakan kertas koran yang telah disterilisasi sebelumnya. Alasan digunakan kertas koran sebagai penutup wadah adalah sifat dari bakteri  A.xylinum yang anaerob fakultatif atau hanya membutuhkan sedikit oksigen untuk bermetabolisme.
  7. Kemudian dilakukan inkubasi pada suhu ruang yaitu sekitar 24-250C selama 12 hari. Kondisi ruang inkubasi tidak boleh lembab karena dikhawatirkan akan terjadi kontaminasi oleh jamur.
  8. Setelah 12 hari, nata dipanen. Nata yang sudah jadi harus direndam dalam air matang selama 3 hari dan air diganti setiap hari. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan aroma dan rasa asam dari cuka glasial yang digunakan dalam pembuatan.
  9. Nata yang sudah bebas dari aroma asam bisa langsung dipotong berukuran kecil. Kemudian nata tersebut direbus dalam air sirup gula yang ditambah essense untuk memperkuat aroma dan menambah warna.

B. Proses Pembuatan Nata de Soya Menggunakan Bahan Kimia Pengganti
Proses pembuatan Nata de Soya yang menggunakan bahan pengganti tidak jauh berbeda dengan proses pembuatan Nata de Soya yang menggunakan bahan kimia murni. Perbedaannya hanya pada formula/komposisi bahan yang ditambahkan untuk pertumbuhan bakteri A.xylinum. Adapun bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat Nata de Soya pada formula ini adalah:
-  Limbah cair tahu, untuk media pertumbuhan bakteri A.xylinum
-  Starter Nata (Kultur A.xylinum), bakteri yang berperan membentuk nata atau bacterial cellulose.
-  Gula pasir, sebagai sumber karbohidrat bagi pertumbuhan bakteri nata dan juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi metabolisrne sel bakteri tersebut.
-  NPK, sebagai bahan pengganti Mg2SO4 dan K2PO4 yang berfungsi sebagai makanan dan membantu pertumbuhan bakteri A.xylinum karena NPK mengandung unsur Nitrogen (N), Phosphate (P), dan Kalium (K).
-  ZA, sebagai bahan pengganti (NH4)2SO4 yaitu sebagai sumber nitrogen (N) akan membantu pertumbuhan bakteri dan merangsang terbentuknya struktur nata yang tebal kompak.
Penggunaan ZA (Zwavelzuur Ammonium) dalam pembuatan nata adalah sebagai sumber nutrisi bagi pertumbuhan Acetobakter xylinum. Pemakaian ZA dalam pembuatan nata yaitu 0,3 persen dari volume media. Syarat-syarat ZA dalam pembuatan nata yaitu berbentuk kristal atau butiran, berwarna putih dan bersih dari kotoran. Pemilihan ZA yaitu dipilih ZA yang berbentuk kristal, berwarna putih, dan mudah larut dalam air, bergaris tengah kurang lebih 1 mm, mempunyai kadar nitrogen 45-46 persen (Lingga,1992).
Pupuk ZA dan NPK apabila terkena panas mudah menguap dan cepat larut. Jadi penggunaan pupuk ZA ini tidak berbahaya untuk kesehatan (Saragih, 2004).
-  Asam sitrat, untuk membantu menurunkan pH dan menghambat pertumbuhan kapang.
-  Asam asetat glasial, berfungsi untuk menurunkan pH menjadi 3-4.
-  Kertas koran steril, untuk menutup wadah fermentasi karena bakteri A.xylinum aerob dapat tumbuh baik pada kondisi aerob.
-  Karet, untuk mengikat kertas koran pada wadah fermentasi.
Sedangkan alat yang digunakan adalah baskom plastik, timbangan, kain saring halus, panci perebus, sendok pengaduk, pisau, talenan, pipet volume 10 ml, bola hisap, gelas ukur 1 lt, bak plastik ukuran 23 x 15 cm.
Analisis Kandungan Gizi
Nata dari air rebusan kedelai (Nata de Soya) dan Nata de Coco ternyata memiliki kandungan gizi yang tidak jauh berbeda. Hasil uji proksimat menunjukkan kandungan utamanya adalah air (98%) dan serat kasar (10%) (dapat dilihat pada Tabel ). Sebagai makanan, nata memiliki nilai gizi dan nilai kalori yang rendah. Meskipun demikian, sehubungan dengan kandungan seratnya maka nata dapat dijadikan sebagai makanan alternatif untuk penderita masalah gizi lebih, untuk rnencegah terjadinya sembelit atau menghindari konstipasi dan emperlancar pencernaan
Hasil Uji Proksimat Nata de Soya dan Nata de Coco
Analisis
Nata de Soya
Nata de Coco
Kadar Air
97,25 %
98,27 %
Kadar Abu
0,31 %
0,20 %
Kadar Lemak
1,20 %
1,06 %
Serat Kasar
10,60 %
8,51 %
Kadar Protein
0,00 %
1,53 %
Kadar Karbohidrat
0,09 %
0,00 %

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 5 Tahun 2000

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 5 Tahun 2000
Tentang : Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan
Pembangunan Di Daerah Lahan Basah
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang :
Bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup tentang Panduan
Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan di Daerah Lahan Basah;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 3699);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Peratuiran Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 355/M/1999 tentang
Kabinet Persatuan Nasional;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PANDUAN
PENYUSUNAN AMDAL KEGIATAN PEMBANGUNAN DI DAERAH LAHAN BASAH.
PERTAMA
Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan di Daerah Lahan
Basah adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini.
KEDUA
Keputusan ini berlaku efektif pada tanggal 7 November 2000 dan bilamana di
kemudian hari terdapat kekeliruan, maka Keputusan ini akan ditinjau kembali.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal :
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd.
Dr. A. Sonny Keraf
LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 5 TAHUN 2000 TANGGAL 21 PEBRUARI 2000
PANDUAN PENYUSUNAN AMDAL KEGIATAN PEMBANGUNAN DI DAERAH
LAHAN BASAH
BAB I. PENJELASAN UMUM
1.1 LATAR BELAKANG
Upaya melengkapi tuntutan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, telah diwujudkan melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). Di dalam Pasal 2 ayat (1)
dinyatakan secara tegas bahwa analisis mengenai dampak lingkungan
hidup merupakan bagian kegiatan studi kelayakan rencana usaha
dan/atau kegiatan. Selanjutnya, dalam Pasal 2 ayat (2) dinyatakan
bahwa hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup digunakan
sebagai bahan perencanaan pembangunan wilayah.
Salah satu kategori wilayah yang pertu dioptimalkan
pembangunannnya adalah kawasan lahan basah. Ketersediaan areal
lahan basah yang masih cukup luas dengan potensi sumberdaya alami
yang terkandung di dalamnya masih belum banyak termanfaatkan,
telah mengundang peningkatan usaha pemanfaatan lahan basah untuk
berbagai sektor kegiatan .Berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi kawasan ini semakin potensial untuk dikembangkan.
Beberapa kegiatan yang diperkirakan akan terus berkembang antara
lain, pembukaan persawahan, perkebunan dan pertambakan yang
dikaitkan dengan pembangunan permukiman transmigrasi. Bersamaan
dengan itu pembangunan agroindustri dandan berbagai industri jasa
seperti pengangkutan dan pelabuhan tentu akan semakin terfokus pada
kawasan lahan basah sebagai wilayah sasarannya.
Berbagai perkembangan kegiatan perekonomian baik bertaraf lokal,
regional, maupun nasional akan menyebabkan keberadaan potensi
sumberdaya alami terutama di kawasan lahan basah semakin terancam
kelestariannya. Sejumlah program yang sudah diimplementasikan
kebanyakan kurang memenuhi kaidah keberlanjutan, sehingga terjadi
pemubaziran sumberdaya lahan basah dan tidak jarang menimbulkan
berbagai permasalahan lingkungan yang serius. Mulai tampak
berkurangnya luasan alami kawasan lahan basah, dan secara langsung
maupun tak langsung menurunkan mutu dan fungsi ekologis dari
sumberdaya alami setempat. Pemanfaatan yang sudah berlangsung
ternyata, berpengaruh besar terhadap penyusutan mutu dan
keberadaan sumberdaya keanekaragaman hayati, sumberdaya perairan
rawa, sungai, estuaria dan bahkan potensi laut dalam (Syarkowi, 1995
dan Verheught, 1990). Kecenderungan pemanfaatan yang ada
menunjukkan bahwa, banyak pihak yang berkepentingan terhadap
daerah itu masih pertu dibekali pengetahuan tentang strategi
pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Cara-cara pengelolaan berbagai program pembangunan yang ada telah
menjadikan kawasan ini kurang termanfaatkan secara optimal. Padahal
jika potensi yang besar itu semakin surut dan banyak yang tersiasiakan,;
maka pembangunan di kawasan lahan basah akan sulit
berkelanjutan. Diakui bahwa kompleksitas persoalan lingkungan dan
pengendalian dampak negatif pembangunan kawasan lahan basah itu
sangat rumit. Keberadaan lahan basah secara geografis
menghubungkan ekosistem lahan kering terhadap ekosistem pesisir
dan kelautan, yang tentunya memiliki keterkaitan fungsi dan kepekaan
ekosistem yang beragam pula. Pengalaman pelaksanaan studi AMDAL
beberapa proyek di berbagai area lahan basah selama ini menunjukkan
bahwa kompleksitas dampak lingkungan yang bisa terjadi memang
sangat tinggi (Euroconsult, 1991), akan tetapi sedapat mungkin harus
diupayakan memprakirakannya. Dari studi khusus tentang "Pedoman
Pelingkupan AMDAL Lahan Basah" yang dilakukan oleh AWB (1991)
misalnya, kompleksitas dampak lingkungan itu secara sistematis mulai
dipahami dinamikanya. Walaupun demikian kenyataan tentang
munculnya berbagai masalah lingkungan hidup di kawasan lahan basah
dan sekitarnya selama pertengahan dekade 90-an, harus pula diakui
bahwa masih banyak rahasia yang perlu diungkapkan dan diketahui
dibalik dinamika dampak pembangunan lahan basah itu.
Guna mengendalikan pembangunan yang dilaksanakan secara tidak
bijaksana itu, maka studi AMDAL harus dioptimalkan dengan mengacu
kepada piranti khusus "Metodologi AMDAL Lahan Basah". Panduan ini
khusus memberi petunjuk bagaimana melaksanakan AMDAL di daerah
lahan basah. Dengan ini diharapkan informasi minimal tentang
karakteristik lahan basah baik yang bersifat umum maupun khusus dari
komponen lingkungan yang peka terhadap kegiatan pembangunan dan
pengembangan diarahkan agar dapat dipenuhi. Demikian pula tentang
karakteristik proyek pembangunan yang prospektif berkembang di
kawasan itu sangat perlu dan akan dapat dipahami atas dasar sifat
kepentingannya terhadap lahan basah.
1.2 MAKSUD DAN TUJUAN
Panduan ini dimaksudkan untuk memudahkan penyusunan AMDAL bagi
berbagai usaha dan/atau kegiatan (proyek) pembangunan di daerah
lahan basah.
Secara khusus Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan di
Daerah Lahan Basah ini diharapkan dapat:
1. Mengendalikan cara-cara pemanfaatan lahan basah sehingga
terpelihara kelestarian fungsi ekologisnya; mengingat peruntukan
lahan yang tidak harmonis dan penerapan iptek yang kurang
bijaksana dapat mengakibatkan gejala erosi genetik, polusi dan
penurunan potensi lahan basah sulit dikendalikan.
2. Menopang upaya-upaya memertahankan proses ekologis antar
ekosistem di kawasan, lahan basah sebagai sistem penyangga
kehidupan yang perlu bagi kelangsungan pembangunan dan
peningkatan kesejahteraan penduduk di kawasan lahan basah pada
khususnya serta masyarakat pada umumnya.
3. Mendorong langkah-langkah antisipatif dalam menggali dan
mengembangkan potensi keanekaragaman sumber genetik serta
potensi lain dari berbagai tipe ekosistem lahan basah dalam
kerangka kemajuan iptek dan perkembangan sosial ekonomi dan
budaya di masa depan.
1.3 PENDEKATAN DAN RUANG LINGKUP
Agar dapat melakukan identifikasi, prakiraan dan evaluasi dampak
penting lingkungan akibat pembangunan di daerah lahan basah, secara
cermat diperlukan pengetahuan tentang sifat dan kekhasan daerah lahan
basah tersebut. Hal ini diperlukan agar ragam respon sistem lingkungan
yang akan menerima dampak dapat dikenal pasti sedini mungkin. Oleh
karena itu, panduan ini diawali dengan perumusan tentang kriteria dan
batasan kawasan lahan basah disajikan pada Bab II. Kemudian diikuti
oleh panduan proses pelingkupan yang disajikan pada Bab III, yang
menjelaskan penentuan isu pokok, komponen lingkungan yang harus
ditelaah akibat satu jenis kegiatan, penentuan batas wilayah studi dan
lingkup waktu perkiraan dampak dalam studi AMDAL.
Panduan penyusunan analisis dampak lingkungan (ANDAL) disajikan
dalam Bab IV. Sebagai suatu panduan, maka segenap metode dalam
dokumen ini diuraikan secara garis besar dan dilengkapi dengan bahan
rujukan yang memuat metode pengumpulan atau analisis data secara
terperinci. Selanjutnya, panduan untuk penyusunan rencana pengelolaan
lingkungan (RKL) dan rencana pemantauan lingkungan (RPL) disajikan
pada BaB V. Secara skematis, sistematika panduan ini mengikuti alur
pikir proses : penyusunan AMDAL seperti pada Gambar 1-1.
Pembangunan di daerah lahan basah akan memiliki ragam dan besaran
dampak tergantung pada sistem lingkungan yang akan terkena
dampak.Dengan demikian, mengikuti tujuan studi AMDAL adalah
memeliha kapasitas ekosistem alamiah dalam hal penentuan parameter
lingkungan yang harus ditelaah, pengumpulan dan analisis data,
prakiraan evaluasi dampak perlu disusun atas dasar pendekatan
pemeliharaan, ekosistem yang berkesinambungan.
Gambar 1-1
Pendekatan sistem dalam penyusunan AMDAL kawasan lahan basah
BAB II. KONSEP STRUKTUR DAN FUNGSI EKOSISTEM LAHAN BASAH
2.1 TIPOLOGI EKOSISTEM
Keberadaan lahan basah atau tahan berawa dapat diklasifikasikan
menjadi 3 zona, yaitu :
(1) Ekosistem rawa pasang surut air payau/salin;
(2) Ekosistem rawa pasang surut air tawar; dan
(3) Ekosistem rawa non-pasang surut atau rawa lebak.
Zonasi ini diterapkan demikian berdasarkan kekuatan air sungai dan air
pasang (Sandy dan Nad Darga, 1979).
Pada musim hujan zona I dan II memperoleh pengaruh pasang surut,
sedangkan zona III tidak diperigaruhi. Pada musim kemarau, hanya zona
I yang dipengaruhi oleh luapan dan intrirsi air payau/asin. Berkenaan
dengan itu, maka ada tiga hal penting yang perlu diingat sehubungan
dengan ekosistem lahan basah; yaitu :
(1) Ekosistem lahan basah sesungguhnya memiliki potensi alami yang;
sangat peka terhadap setiap sentuhan pembangunan yang merubah
pengaruh perilaku air (hujan, air sungai, dan air laut) pada bentang
lahan itu;
(2) Ekosistem lahan basah sesungguhnya bersifat terbuka untuk
menerima dan meneruskan setiap material ("slurry") yang terbawa
sebagai kandungan air, baik yang bersifat hara mineral, zat atau
bahan berat maupun energi lainnya, sehingga membahayakan; dan
(3) Ekosistem lahan basah sesungguhnya berperan penting dalam
mengatur keseimbangan hidup setiap ekosistem darat di hulu dan
sekitarnya serta setiap ekosistem kelautan di hilirnya.
Bentuk pemanfaatan yang utama dan merupakan fungsi perlindungan
pada lahan basah terhadap sistem penyangga kehidupan, antara lain
(1) Fungsi pemasok air (kualitas dan kuantitas air)
(2) Fungsi pengendalian air, terutama pengendalian banjir
(3) Fungsi pencegah intrusi air laut
(4) Fungsi lindung (dari kekuatan alam)
(5) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan sedimen
(6) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan unsur hara
(7) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan bahan-bahan beracun
(8) Fungsi pemasok kekayaan alam (di dalam areal lahan basah)
(9) Fungsi pemasok kekayaan alam (ke luar areal lahan basah)
(10) Fungsi produksi energi (kayu, listrik-hidro)
(11) Fungsi transportasi/perhubungan
(12) Fungsi bank gen
(13) Fungsi konservasi
(14) Fungsi rekreasi dan pariwisata
(15) Fungsi sosial budaya
(16) Fungsi sosial ekonomi
(17) Fungsi penelitian dan pendidikan
(18) Fungsi pemeliharaan proses-proses alam.
Selanjutnya manfaat sampingan dapat dipanen dan dinikmati
masyarakat sampai batas-batas tertentu tanpa merusak proses ekologis
yang diperankan oleh ekosistem itu. Bentuk pemanfaatan golongan ini
antara lain: (1) sumber air bagi penduduk (setempat); (2) sumber
produk alami (nipah dan ikan); (3) sumber eneigi (kayu dan gambut);
dan (4) sumber kesegaran dan keindahan (wisata).
Bertolak dari pemahaman akan arti penting fungsi-fungsi ekologis maupun
fungsi ekonomis yang diperankan oleh ekosistem lahan basah itu, maka
upaya untuk melestarikan keberadaan mutu dan fungsi ekosistem lahan
basah patut direalisasikan. Ini antara lain dilakukan melalui pendekatan
peraturan perundangan yang melindungi komponen-komponen kawasan yang
berfungsi penting dan strategis. Pelestarian sumberdaya kawasan lahan basah
dimungkinkan oleh adanya ketentuan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta UU Nomor 5
Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Ketentuan perundangan itu
meliputi perlindungan jenis flora dan fauna serta benda cagar budaya, yang
tidak jarang banyak ditemukan pada daerah lahan basah.
Sampai sejauh ini, kawasan yang ingin dipertahankan dan dijaga serta
dilestarikan fungsinya antara lain:
(1) Kawasan Gambut, yaitu kawasan yang unsur pembentuk tanahnya
sebagian besar berupa sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam
waktu lama. Perlindungan terhadap kawasan gambut dilakukan untuk
mengendalikan hidrologi wilayah yang berfungsi sebagai penambat air
dan pencegah banjir maupun kebakaran, serta melindungi sistem
ekonomi yang khas di kawasan yang bersangkutan. Kriteria kawasan
gambut yang dilindungi itu adalah tanah gambut dengan ketebalan tiga
meter atau lebih yang terdapat di bagian hulu sungai dan rawa (Pasal 10
Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung)
(2) Kawasan Resapan Air, yaitu daerah yang mempunyai kemampuan tinggi
untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air
bumi (akifer) yang berguna sebagai sumber air. Perlindungan terhadap
kawasan resapan air dilakukan untuk memberikan ruang yang cukup
bagi peresapan air hujan pada daerah tertentu untuk keperluan
penyediaan kebutuhan kawasan yang bersangkutan. Kriteria kawasan
resapan air adalah curah hujan yang tinggi, struktur tanah yang mudah
meresapkan air bentuk geomorfologi yang mampu meresapkan air hujan
secara besar-besaran (Pasal 12 Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung);
(3) Sempadan Sungai, yaitu kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk
sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat
penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Perlindungan
terhadap sempadan sungai dilakukan untuk melindungi dari kegiatan
manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai,
kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai.
Kriteria sempadan sungai yaitu: (a) Sekurang-kurangnya 100 meter di
kiri kanan sungai besar dan50 meter di kiri kanan sungai yang berada di
luar pemukiman (Pasal 16 butir a Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung jo PP No. 35 tahun 1991 tentang Sungai)
(b) Untuk sungai di kawasan pemukiman lebar sempadan sungai
seharusnya cukup untuk membangun jalan inspeksi yaitu antara 10
sampai dengan 15 meter (Pasal 16 Butir b Keppres No. 32 Tahun 1990 jo
PP No. 35 Tahun 1991);
(4) Sempadan Pantai, adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan dan melindungi
kelestarian fungsi pantai dari gangguan berbagai kegiatan dan proses
alam. Kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang
lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal
100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat (Pasal 14 Keppres No.
32 Tahun 1990);
(5) Kawasan Sekitar Danau/Waduk, adalah kawasan tertentu di sekeltiling
danau/waduk yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan
kelestarian fungsi danau/waduk Perlindungan terhadap kawasan sekitar
danau/waduk dilakukan untuk melindungi danau/waduk dari kegiatan
budidaya yang dapat mengganggu kelestariaan fungsi danau/waduk.
Kriteria kawasan sekitar danau/waduk adalah sepanjang tepian
danau/waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik
danau/waduk antara 50-100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah
darat (Pasal 18 Keppres No. 32 Tahun 1990);
(6) Kawasan Pantai Berhutan Bakau, yaitu kawasan pesisir laut yang
merupakan habitat alami hutan bakau (mangrove) yang berfungsi
memberi perlindungan kepada perikehidupan pantai dan lautan.
Perlindungan terhadap kawasan ini dilakukan untuk melestarikan hutan
bakau sebagai pembentuk ekosistem hutan bakau dan tempat
berkembang-biaknya berbagai biota laut disamping sebagai pelindung
usaha budidaya di belakangnya. Kriteria kawasan ini adalah minimal 130
kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan
diukur dari garis air surut terendah ke arah darat (Pasal 8 UU No. 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya Jo Pasal 27 Keppres No. 32 Tahun 1990);
(7) Rawa yang merupakan lLahan genangan air secara alamiah yang terjadi
terus-menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat
serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisik, kimiawi, atau bilogis.
Konservasi rawa adalah pengelolaan rawa sebagai sumber air yang
berdasarkan pertimbangan teknis, sosial ekonomis dan lingkungan,
bertujuan untuk mempertahankan dan sebagai sumber air serta
meningkatkan fungsi dan manfaatnya, dengan memperhatikan faktor -
faktor sebagai berikut (Pasal 9 PP No. 27 Tahun 1991 tentang Rawa) :
(a) kemampuan meningkatkan rawa sebagai ekosistem sumber air; (b)
kelestarian rawa; (c) kemampuan meningkatkan perekonomian
masyarakat dan (d) kelestarian lingkungan hidup.
2.1.1 Ekosistem Hutan “Bakau” (Zonasi I)
Ekosistem ini terdiri dan formasi bakau, nipah, serta formasi
Acrosticum. Formasi hutan mangrove atau “bakau” ditandai dengan
kehadiran jenis tanah aluvial, sebagai hasil dari sedimentasi dan
akumutasi lumpur yang dibawa oleh air sungai. Formasi ini begitu
dinamis dengan adanya peran dari tumbuhan pemul, umumnya berupa
tumbuhan Api-api (Avicennia sp.) dan Pedada (Sonneratia sp.), dan
jika kondisi lahan menjadi stabil, maka akan ditemui jenis Bakau
(Rizophora spp.) dan Nyireh (Xylocarpus sp.). Jenis-jenis ini diketahui
sangat baik beradaptasi pada tanah bersalinitas tinggi sebagai
pengaruh dan pasang air laut.
Pada ekosistem ini formasi Rhizophora sp., Avicennia sp., dan
Sonneratia marina menduduki formasi terdepan sedangkan agak
kebelakang dijumpai jenis tumu atau bakau tomak (Bruguirea
hexangula), Xylocarpus muluccensis dan Sonneratia ovata. Formasi
hutan “bakau” ini diketahui sangat penting peranannya sebagai habitat
pijah-asuh berbagai jenis ikan dan udang. Di sisi lain, formasi
Acrostichum juga dominan dan berfungsi sebagai penutup tanah hutan
mangrove hingga ketinggian 3-4 meter. Bersamaan dengan itu
terdapat pula assosiasi dengan Nipa. Jenis tumbuhan Nipa
membutuhkan air selama hidupnya.Ini terlihat dan seringnya Nipa
diketemukan di sepanjang tepi sungai dengan aliran yang tenang. Jenis
ini dapat hidup sebagai pioner di sedimen berlapis. Reptilia yang hidup
di habitat ini adalah biawak ( Varanus salvator), buaya (Crocodylus
porosus), ular cincin emas (Boiga sp.), sedangkan mamalia yang umum
ditemukan adalah babi hutan (Sus scoria), kera (Macaca sp.), kucing
hutan (Felix sp.), Napu (Tragulus napu), dan kelompok burung yang
banyak ditemukan merupakan kelompok cemar laut (wader) dan
bangau, serta kuntul.
2.1.2 Ekosistem Hutan Raya Payau (Zona I)
Merupakan formasi hutan rawa campuran air asin dan air tawar, dan
umumnya terdapat di belakang hutan magrove atau di sepanjang tepi
sungai. Tumbuhan pada formasi ini didominasi oleh Terentang
(Camnosperma), Putai (Alstonia), dan Rengas (Gluta rengas). Formasi
ini berperan sebagai pembatas terhadap ekosistem hutan bakau
dengan kehadiran formasi Nibung. Formasi ini merupakan pembatas
antara hutan mangrove dan hutan lainnya di belakang mangrove, baik
hutan rawa maupun hutan gambut. Kelebatan formasi ini berkisar
antara 100-500 meter. Fauna yang ditemukan di habitat ini pada
umumnya fauna yang hidup di daerah mangrove maupun di hutan rawa
air tawar.
2.1.3 Ekosistem Hutan Rawa Air Tawar (Zona II)
Formasi hutan rawa air tawar terletak di bagian belakang hutan rawa
payau. Salah satu indikator formasi hutan ini adalah hadirnya tanaman
pandan (Pandanus sp.) dan rumput yang terapung (kumpai) di
perairan. Tumbuhan lain yang juga sering ditemukan adalah
Comnosperma dan Alstonia. Selain itu terdapat familia
Dipterocarpaceae dari Genera Shorea, Dipterocarpus, Marsawa, dan
Cotilelobium.
Pada habitat ini biasa ditemukan fauna yang tergolong reptilia, yaitu
buaya senjolong (Tomastoma schlegelii), dan kelompok mamalia antara
lain : gajah (Elephas maximus), tapir (Tapirus indicus), badak
(Dicerorhinus sumatrensis), beruang (Herartos malayensis), kancil
(Tragulus javanicus), babi (Sus barbatus), dan lain-lain.
2.1.4 Ekosistem Hutan Rawa Gambut (Zona III)
Di daerah delta yang biasanya banyak mendapat pengaruh air asin dan
payau, beberapa jenis tumbuhan dominan adalah jenis terentang
abang (Camnosperma macrophylla). Hutan pelawan beriang (Tristania
abovata) dan Ploiarium alternifolium ditemukan pada lapisan gambut
yang tebal, sedangkan pada lapisan gambut yang tipis ditemukan
tegakan nibung (Oncosperma filamentosa). Di dekat sungai-sungai
besar, pada tempat tempat yang kurang tergenang ditumbuhi oleh
jenis perepat (Combretocarpus motleyi) yang bercampur dengan
Camnosperma macrophylla dan meranti paya (Shorea spp.).
Hutan rawa gambut yang tidak dipengaruhi oleh air asin memiliki jenis
tumbuhan yang lebih kaya. Hutan ini merupakan formasi transisi dan
hutan gambut ke hutan rawa (mixed peat swamp forest). Di dalam
formasi ini terdapat lapisan bergambut dengan ketebalan sekitar 20
cm. Komposisi floristik pada formasi ini mirip dengan komposisi di
hutan rawa air tawar. Komposisi tumbuhannya terdiri dan tiga zona
yang secara horizontal adalah berturut-turut : zona pertama didominasi
oleh jenis durian payau (Durio carrinatus), meranti (Shorea sp.),
merawan bunga (Hopea mangerawan), simang (Diospyros sp.), dan
jenis-jenis yang termasuk ke dalam familii Anacardiaceae. Zona kedua
terdiri atas tumbuhan Sindai (Knema spp.), Blumeodendron sp., Prunus
sp., dan beberapa jenis dan familia Poligalaceae serta Euphorbiacece.
Di bagian zona terutama didominasi oleh tipe semak dan rumputan.
Ketebalan gambut di daerah ini mencapai 2 sampai 3 meter dengan
dominasi jenis palem yang merupakan indikator bahwa formasi di
daerah ini merupakan formasi transisi antara tipe rawa dan gambut
(hutan campuran rawa dan gambut atau mixed peat swamp forest).
2.2 TIPOLOGI GEOFISIK
Kualitas dan karakteristik lahan basah pada masing-masing zona dapat
ditetapkan apabila jenis tanahnya diketahui. Nama atau jenis tanah
tertentu sekurang-kurangnya memberi gambaran tentang sifat dan
kelakuan tahan dalam merespon suatu teknologi yang diterapkan. Dan
berbagai laporan studi dapat dikemukakan bahwa jenis tanah dominan
pada lahan basah adalah: (1) tanah aluvial; (2) tanah sulfat masam;
dan (3) tanah bergambut dan gambut. Pada umumnya sifat-sifat tanah
pada lLahan basah tersebut sangat berhubungan erat dengan fisiografi
dimana tanah tersebut ditemukan. Fisiografi utama pada zona I
termasuk grup marin dan kubah gambut. Pada zona II termasuk grup
aluvial, marin dan kubah gambut, sedangkan pada zona III termasuk
grup aluvial dan kubah gambut. Informasi tentang tipologi geo-fisik
lahan basah itu dapat digunakan sebagai arahan pemanfaatan,
pengembangan dan pengelolaannya.
Secara geofisik, karakteristik lLahan basah yang perlu diperhatikan
adalah sebagai berikut: (1) lama dan kedalaman genangan air banjir
atau air pasang, serta kualitasnya; (2) ketebalan dan kematangan
gambut serta kandungan hara mineral; (3) kedalaman lapisan pirit
serta kemasan potensial dan aktual setiap lapisan tanahnya; (4)
pengaruh luapan/air laut; (5) tinggi muka air tanah; dan (6) keadaan
substratum lahan. Rincian karakteristik umum tipologi geo-fisik lahan
basah disajikan pada Tabel 2-1.
Tabel 2-1. Karakteristik Umum Tipologi Geofisik Lahan Basah
Kelima faktor mutu lahan yang diindikasikan pada Tabel 2-1 tersebut
penting diperhatikan dalam penentuan kesesuaian lahan untuk
kegiatan pertanian. Adapun faktor No. 1,4 , dan 5 merupakan hal yang
patut dipertimbangkan dalam menentukan lokasi proyek pembangunan
non pertanian.
2.3 TIPOLOGI AGROEKOSISTEM
2.3.1 Agro ekosistem Rawa Pasang Surut
Pola pemanfaatan lahan basah pada zona rawa pasang surut dapat
didasarkan pada tipe luapan air pasang surut. Dengan tipe luapan air
yang dimaksudkan itu maka pemanfaatan lahan dapat dikelompokkan
ke dalam 4 tipe [berdasarkan luapan pasang besar (maksimum) dan
pasang kecil (minimum)], yaitu :
(1) Tipe A = terluapi pasang besar dan kecil;
(2) Tipe B = terluapi pasang besar;
(3) Tipe C = tidak terluapi pasang, air tanah < 50 cm; dan
(4) Tipe D = tidak terluapi dan air tanah > 50 cm
Pengelompokan tipe luapan ini sepadan dengan kategorisasi hidup
topografi lahan basah berdasarkan pasang besar pada MH dan MK
yaitu kategori I, II, III, dan IV. Jika dipertimbangkan tipologi
lahan tipe luapan, kendala fisik lahan yang ada dan diperkirakan ada,
maka dapat dikemukakan pola pemanfaatan lahan rawa pasang surut
(Halim1994), seperti pada Tabel 2-2.
Tabel 2-2 Pola Pemanfaatan Lahan Rawa Pasang Surut Sesuai dengan Tipologi
Lahan dan Tipe Luapannya
Lahan potensial, gambut dan sulfat masam dengan tipe luapan A dan B
dimanfaatkan untuk sawah. Sawah dapat dilakukan sebanyak dua kali
dalam setahun pada lahan dengan tipe luapan A. Dengan sistem
Surjan, lahan dengan tipe luapan B juga dapat disawahkan sebanyak
dua kali dalam setahun. Lahan dengan tipe luapan C juga dapat
disawahkan dalam musim hujan bila diterapkan sistem surjan. Pada
guludan dapat ditanam beberapa jenis tanaman pangan lainnya serta
tanaman hortikultura. Pemanfaatan lahan dengan tipe luapan D adalah
berupa usaha tani lahan kering untuk tanaman pangan/hortikultura
atau perkebunan kelapa. Pada lahan gambut sebaiknya diusahakan
sebagai lahan perkebunan kelapa sawit yang didahului dengan tanaman
pangan dan hortikultura untuk beberapa musim. Sedangkan pada lahan
sulfat masam, sebaiknya dimanfaatkan langsung sebagai lahan
perkebunan kelapa.
2.3.2 Agroekosistem Rawa Lebak
Pola pemanfaatan lahan basah pada zona rawa lebak disesuaikan
dengan tipologi lahannya seperti disajikan pada Tabel 2-3. Tipologi
lahan aluvial dimanfaatkan untuk sawah lebak atau sawah tadah hujan.
Rawa lebak bertipologi demikian umumnya termasuk rawa lebak
dangkal. Sedangkan pada tipologi tahan gambut-dangkal, gambut
sedang dan gambut dalam dapat dimanfaatkan untuk perkebunan
kelapa sawit dengan sistem "polder". Rawa lebak pada tipologi lahan
tersebut umumnya termasuk rawa lebak tengahan dan/atau dalam.
Tabel 2-3 Pola Fisiografis Pemanfaatan Lahan Basah
Pada kawasan lebak dangkal (pematang), lebak tengahan, dan daltam
sebenarnya mengindikasikan adanya cekungan bentang lahn yang
digenangi air tawar. Indikasi yang demikian amat perlu diperhatikan
setiap kali suatu pembangunan direncanakan. Pembangunan suatu
waduk untuk irigasi di bagian hulu misalnya, mengubah keadaan
bentang lahan lebak di bagian hilir. Lebak dangkal berubah jadi kering,
yang tengahan menjadi dangkal. Demikian pula lebak dalam yang
biasanya berperan sebagai gudang kehidupan berbagai jenis ikan akan
berkurang kemampuan ekologisnya.
2.4 TIPOLOGI SOSEKBUD DAN KESEHATAN MASYARAKAT
2.4.1 Sosekbud
Dari sisi sosial ekonomi, sesungguhnya sumberdaya alam kawasan
lahan basah amat kaya, baik yang terbarukan maupun yang tak
terbarukan. Sumberdaya alam di kawasan lahan basah dapat
dikategorikan menjadi empat kategori, yaitu:
(1) Sumberdaya "alam-terludesi" (exhaustible resources);
(2) Sumberdaya "alam-hayati" (biological! resources);
(3) Sumberdaya "alam-maliri" (flow resources);
(4) Sumberdaya "alam-segari" (amenity resources).
Keempat kategori sumberdaya alam tersebut telah dimanfaatkan oleh
masyarakat daerah setempat maupun masyarakat pengusaha.
Walaupun demikian, karena keterisolasian lokasi dan keterbatasan
sarana pengangkutan berbagai jenis sumberdaya alam dan
sumberdaya turunannya masih sering tersia-siakan begitu saja.
Misalnya, potongan kayu dan tempurung kelapa (yang baik untuk
arang) serta sabut kelapa biasanya belum sepenuhnya dimanfaatkan
penduduk sebagai bahan sumber tambahan pendapatan.
Oleh karena terdapat berbagai ragam potensi sumberdaya alam yang
dapat dimanfaatkan, maka interaksi sosial dan proses sosial bisa
beragam coraknya. Dari sudut pandangan lingkungan hidup, interaksi
sosial dalam pemanfaatan sumberdaya alam seyogyanya diperhatikan
keterkaitannya dengan pencemaran dan pengrusakan lingkungan alam.
Diantara interaksi itu ada yang patut diteladani sebagai kearifan lokal,
tapi ada yang harus dikendalikan agar tidak meluas pengaruhnya.
Dari segi sosial-budaya, isu lingkungan di kawasan lahan basah juga
perlu diperhatikan. Kawasan lahan basah di Indonesia ada yang berada
dalam lingkup pengaruh atau telah merupakan perkampungan bahkan
ada yang sudah merupakan bagian dari wilayah kota besar. Keadaan ini
menempatkan aspek sosial budaya sebagai komponen lingkungan yang
tetap harus diperhatikan. Dengan kata lain suatu proyek pembangunan
harus mempertimbangkan pola kebudayaan lokal, agar sedapat
mungkin kelangsungan proyek mendapat dukungan masya akat atau
paling tidak dampak yang ditimbulkan dapat diantisipasi. Sehubungan
dengan itu, pemahaman tentang persepsi masyarakat di kawasan lahan
basah menjadi sangat penting.
Semangat dan aktivitas gotong royong di kawasan lahan basah
berbeda dengan kawasan-kawasan lain. Spektrum kegiatan gotongroyong
dalam suatu kekerabatan atau kelompok sosial di kawasan
lahan basah relatif luas dibandingkan dengan kawasan lainnya. Dapat
dilihat bahwa penguasaan lahan oleh suatu keluarga dapat mencapai 2
sampai 5 Ha. Selain itu, peran limpahan air yang secara musiman
membatasi intensitas tanaman akan memudahkan pengendalian hama
dan gulma, sehingga mendorong masyarakat untuk melaksanakan
upaya gotongroyong dalam memperluas lahan usaha. Dengan
demikian, perlu memperhatikan tradisi pemitikan lahan yang luas itu
sebagai aspek pertimbangan utama. Jika tidak demikian, maka sikap
masyarakat bisa negatif terhadap aktivitas proyek pembangunan.
Aspek sosial lain di kawasan lahan basah yang perlu diperhatikan
adalah tentang hak atas tanah. Di kawasan lahan basah masih terdapat
penguasaan lahan secara komunal yang dikenal dengan Hak Ulayat.
Dengan Hak Ulayat ini, masyarakat hukum adat yang bersangkutan
menguasai tanah tersebut secara menyeluruh. Hak masyarakat atas
tanah yang terwujud dalam Hak Ulayat di kawasan lahan basah berupa
: (1) Hak untuk meramu atau mengumpulkan hasil hutan yang ada
wilayah/wewenang hukum masyarakat bersangkutan; dan (2) Hak
untuk berburu dalam batas wilayah atau wewenang hukum masyarakat
merdeka.
Namun, dalam konsepsi hak ulayat tersebut ternyata masih ada hak
anggota masyarakat secara individu menguasai sebagian obyek
penguasaan Hak Ulayat tersebut dengan sistem tertentu, misalnya
sistem lelang lebak-lebung di Sumatera Selatan. Oleh karena itu dapat
dipahami jika terhadap sumberdaya alami yang dilingkupi oleh hak
ulayat itu terdapat gengsi kesukuan yang tinggi. Kehati-hatian
diutamakan di sini, karena suatu keputusan yang tidak transparan oleh
aparat tidak akan didukung oleh masyarakat setempat. Selain itu,
apabila terjadi pengambilalihan tanah Hak Ulayat maka perlu
dipertimbangkan untuk seyogyanya tidak secara penuh meliputi setiap
jenis sumberdaya terkait yang justru menjadi sumber nafkah
penduduk. Misalnya, hak untuk menanam ikan diperairan dalam
kawasan proyek bekas tanah Hak Ulayat hendaknya tetap diberikan
kepada penduduk setempat.
2.4.2 Kesehatan Masyarakat dan Lingkungan
Karakteristik utama lahan basah yang dicirikan dengan keberadaan air,
pada keadaan yang masih alami ciri itu sangat menonjol, dan dalam
keadaan keseimbangan maka keberadaan air akan menopang
kehidupan sehari-hari. Akan tetapi setiap sentuhan proyek
pembangunan yang mengganggu dan mengubah keseimbangan alami
itu, baik langsung maupun tidak berpengaruh negatif terhadap tingkat
kesehatan masyarakat.
Di lokasi pemukiman kawasan lahan basah menunjukkan urutan jenis
penyakit terbesar adalah penyakit malaria. Serangan penyakit ini
diprakirakan akan selalu berlangsung pada setiap awal kegiatan
pembangunan di kawasan lahan basah.
BAB III. PENYUSUNAN KERANGKA ACUAN
3.1 PELINGKUPAN DAMPAK PENTIN6
Menurut Lampiran 1 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
tentang Pedoman Penyusunan AMDAL, pelingkupan dampak penting
ditempuh melalui tiga proses utama. yaitu: (1) identifikasi dampak
potensial; (2) evaluasi dampak potensial; dan (3) pemusatan dampak
penting. Berikut diutarakan proses pelingkupan untuk ANDAL di daerah
lahan basah dengan mengacu pada peraturan perundang tersebut.
3.1.1 Identifikasi Dampak Potensial
Pelingkupan pada tahap ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi
segenap dampak lingkungan (primer, sekunder, dan seterusnya) yang
secara potensial akan timbul akibat adanya proyek. Pada tahap ini
hanya diinventarisasi dampak potensial akan timbul tanpa
memperhatikan besar dampak, atau penting tidaknya dampak.
Identifikasi dampak potensial ditempuh melalui serangkaian langkah
kegiatan berikut ini: - Konsultasi dan diskusi dengan para pakar,
pemrakarsa kegiatan, instansi yang bertanggungjawab, serta (tokohtokoh)
masyarakat yang berkepentingan,
- Analisis terhadap peta dan data sekunder yang ada, seperti peta
vegetasi, peta tata guna tanah, peta sistem lahan, dan data/
informasi tentang hidrologi,
- Observasi atau kunjungan ke calon lokasi proyek.
Adapun metode identifikasi dampak potensial yang dapat digunakan
antara lain adalah:
- Penelaahan pustaka:
- Analisis isi (content analysis);
- Interaksi kelompok (rapat, lokakarya, brainstorming dan lain-lain);
- Daftar uji sederhana;
- Matrik interkasi sederhana; dan
- Pengamatan lapangan (observasi).
Lihat pula KEP-30/MENKLH/7/I992 tentang Panduan Pelingkupan untuk
Penyusunan Kerangka Acuan ANDAL sebagai sumber informasinya yang
lebih rinci.
Berikut diutarakan langkah-langkah identifikasi dampak potensial
aktivitas proyek di daerah lahan basah.
Langkah 1
Buat daftar rencana kegiatan proyek yang akan dibangun di daerah
lahan basah.
Hasil Langkah 1
Daftar kegiatan atau aktivitas proyek yang dapat merupakan penyebab
dampak lingkungan antara lain adalah:
1. Kegiatan pra konstruksi yang meliputi:
a) Kegiatan survei.
b) Kegiatan pembebasan lahan
2. Kegiatan konstruksi, yang meliputi :
a) Kegiatan yang bersifat merubah lahan/lansekap lahan:
i. Pengurangan/pembuangan lahan
Seperti antara lain : pembangunan tambak
ii. Penambahan/pengurukan lahan
Seperti antara lain : pembangunan jalan
iii. Pemadatan lahan
b) Kegiatan yang bersifat mengubah rejim hidrologi
i. Pembangunan saluran drainase
ii. Kanalisasi sungai
iii. Pengalihan aliran
iv. Konstruksi dam
c) Kegiatan yang bersifat mengubah komposisi vegetasi
i. Penebangan vegetasi
ii. Pemungutan hasil
iii. Penanaman tanaman (penghijauan/reklamasi)
iv. Introduksi spesies asing
d) Kegiatan yang bersifat mengubah komposisi satwa
i. Pengambilan/perburuan satwa
ii. Introduksi spesies asing
3. Kegiatan operasi, yang meliputi:
a) Kegiatan proses produksi yang menimbulkan pencemaran
i. Minyak
ii. Kimia
iii.Radioaktif
iv.Limbah domestik
v. Limbah Industri
vi. Panas
vii. Udara
b) Kegiatan instalasi dan operasi pengolah limbah
i. Limbah padat
ii. Limbah cair
iii. Limbah gas
c) Kegiatan pengambilan/pemanfaatan air untuk kebutuhan
domestik dan kebutuhan proses produksi
i. air permukaan (sungai, danau)
ii. air tanah dalam
d) Kegiatan penerimaan tenaga kerja
e) Kegiatan yang mendorong pengembangan wilayah
i. Aksesibilitas wilayah
ii. Pusat-pusat pertumbuhan baru
Langkah 2
Identifrkasi tipe-tipe ekosistem lahan basah yang akan menjadi lokasi
pro dan/atau yang akan terpengaruh oleh kegiatan proyek
sebagaimana dimaksud pada Hasil Langkah 1.
Hasil Langkah 2
Daftar tipe-tipe ekosistem lahan basah yang akan menjadi lokasi
proyek dan/ atau yang akan terpengaruh oleh kegiatan proyek. Dalam
Panduan ini tipe ekosistem dimaksud dibatasi pada:
1. hutan bakau,
2. hutan rawa payau,
3. hutan rawa air tawar, dan
4. hutan rawa bergambut.
Langkah 3
Di setiap tipe ekosistem menurut Hasil Langkah 2, identifikasikan
komponen ekosistem yang akan mengalami perubahan akibat adanya
proyek.
Hasil Langkah 3
Diperoleh daftar komponen lingkungan untuk setiap tipe ekosistem
lahan basah yang potensial terkena dampak proyek, yang diantara
adalah:
1. Komponen Fisik-Kimia
a) Iklim, yang meliputi:
i. Curah hujan
ii. Suhu dan kelembaban nisbi udara
iii. Panjang penyinaran matahari
iv. Kecepatan angin
b) Hidrologi, yang meliputi:
i. Tinggi dan elevasi muka air (pasang surut)
ii. Debit dan pola aliran
iii. Tinggi, lama, dan frekuensi genangan/banjir
iv. Pola sedimentasi dan drainase
v. Sifat fisik dan kimia air permukaan
c) Tanah, yang meliputi:
i. Fisiografi, litologi
ii. Sifat fisik tanah
iii. Sifat kimia tanah
2. Komponen Biologi
a) Komunitas Vegetasi
i. Keanekaragaman jenis/komunitas vegetasi
ii. Keanekaragaman jenis/komunitas biota air/phytoplankton
iii. Struktur dan komposisi vegetasi
iv. Jenis dan populasi vegetasi yang bernilai ekonomi tinggi
v. Jenis dan populasi vegetasi yang bernilai ekologi tinggi
vi. Zona habitat khusus dan plasma nutfah
b) Komunitas Satwa Liar
i. Keanekaragaman jenis/komunitas satwa liar
ii. Keanekaragaman jenis/komunitas biota air/zooplankton, nekton
iii. Jenis dan populasi satwa liar bernilai ekonomi tinggi
iv. Jenis dan populasi satwa liar bernilai ekologi tinggi
v. Jenis dan populasi nekton yang bernilai ekonomi tinggi
vi. Jenis dan populasi nekton yang bernilai ekologi tinggi
vii. Jenis satwa liar yang langka dan/atau dilindungi
3. Komponen Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya
a) Kepadatan dan pertumbuhan penduduk
b) Persebaran penduduk
c) Peluang bekerja dan berusaha
d) Pemilikan dan penguasaan atas sumber daya alam
e) Persarana perhubungan air
f) Pemukiman penduduk
g) Fasilitas umum, pendidikan, kesehatan, dan peribadatan
h) Adat istiadat
i) Kelembagaan tradisional
j) Aktivitas perekonomi dan perdagangan
k) Sistem pertanian
t) Akulturasi dan asimilasi
m) Kesehatan masyarakat
n) Kesehatan lingkungan
Langkah 4
Di setiap tipe ekosistem menurut Hasil Langkah 2, identifikasikan fungsi atau
manfaat yang masih dimiliki oleh ekosistem bersangkutan yang akan
mengalami perubahan mendasar akibat adanya proyek.
Hasil Langkah 4
Diperoleh daftar fungsi atau manfaat untuk setiap tipe ekosistem lahan basah
yang terkena dampak yang diantaranya meliputi:
1. Fungsi pemasok air (kualitas dan kuantitas air), yang berupa air bersih
yang dapat langsung dimanfaatkan oleh masyarakat dan/atau sebagai
pemasok ke aquifer (ground water recharge) dan lokasi lahan basah
lainnya.
2. Fungsi pengendalian air, terutama pengendalian banjir
3. Fungsi pencegah intrusi air laut ke air tanah dan/atau air permukaan.
4. Fungsi perlindungan terhadap kekuatan alam, yang berupa perlindungan
garis pantai, pengendalian erosi, dan pemecah angin (windbreak)
5. Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan sedimen
6. Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan unsur hara
7. Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan bahan-bahan beracun
8. Fungsi pemasok bahan-bahan yang bernilai ekonomi, seperti kayu, ikan
dan daging satwa liar, rotan, getah, obat, dan gambut.
9. Fungsi pemasok bahan-bahan yang bernilai ekologi seperti, pasokan bahan
anorganik dan organik dan hara terlarut bagi wilayah hilir dan bagi ikan
serta burung-burung migran.
10. Fungsi pemasok energi, seperti energi kayu, dan listrik-hidro.
11. Fungsi transportasi/perhubungan
12. Fungsi bank gen bagi spesies tumbuhan komersil dan populasi satwa liar.
13. Fungsi konservasi bagi spesies langka dan dilindungi, habitat satwa liar
dan tumbuhan penting, komunitas, ekosistem, dan lansekap lahan basah.
14. Fungsi rekreasi dan pariwisata
15. Fungsi sosial budaya, berupa estetika lansekap, keagamaan dan spiritual,
serta peningggalan sejarah.
16. Fungsi sosial ekonomi, misal berupa sumber mata pencaharian bagi
penduduk setempat dan tanah adat masyarakat setempat.
17. Fungsi penelitian dan pendidikan
18. Fungsi pemeliharaan proses-proses alam, seperti proses ekologi,
geomorfologi dan geologi, rosot karbon (carbon sink) dan pencegahan
perluasan tanah sulfat masam.
Langkah 5
a) Buat matrik dampak kompanen lingkungan yang pada bagian kolom
memuat rencana kegiatan proyek (Hasil Langkah 1) dan pada bagian baris
memuat komponen lingkungan lahan basah (Hasil Langkah 3).
b) Buat matrik dampak fungsi ekosistem yang pada bagian kolom memuat
rencana kegiatan proyek (Hasil Langkah 1) dan pada bagian baris memuat
komponen fungsi ekosistem lahan basah (Hasil Langkah 4).
c) Masing-masing jenis matrik dibuat sebanyak jumlah tipe ekosistem
sebagaimana Hasil Langkah 2.
Hasil langkah 5
a) Terbentuk matrik dampak komponen lingkungan ekosistem seperti
contoh pada Lampiran 3-1. Matrik sebanyak jumlah tipe ekosistem
menurut hasil langkah 2.
b) Terbentuk matrik dampak fungsi ekosistem seperti contoh pada
Lampiran 3-2. Matrik sebanyak jumlah tipe ekosistem menurut hasil
Langkah 2.
Langkah 6
Disetiap jenis matrik yang diperoleh dari hasil langkah 4 lakukan identifikasi
dampak dengan cara:
Beri tanda “X” atau “V" atau simbol lainnya pada komponen lingkungan
tertentu dan fungsi tertentu dari tipe ekosistem lahan basah yang potensial
terkena dampak kegiatan tertentu dari proyek.
Hasil Langkah 6
Disetiap tipe ekosistem sebagaimana dimaksud hasil langkah 2, diperoleh
daftar komponen lingkungan dan fungsi lahan basah yang potensial akan
terkena dampak.
3.1.2 Evaluasi dampak potensial
Evaluasi dampak potensial dalam proses pelingkupan bertujuan untuk
meniadakan dampak potensial yang dianggap tidak relevan atau tidak
penting, sehingga diperoleh daftar dampak penting hipotetis
yang dipandang perlu dan relevan untuk ditelaah secara mendalam
dalam studi AMDAL. Berikut adalah langkah-langkah yang dapat
digunakan untuk memandu evaluasi dampak potensial:
Langkah 7
Gunakan Keputusan Kepala BA PEDAL tentang Pedoman Penentuan Dampak
besar dan Penting untuk mengevaluasi penting tidaknya hasil langkah 6 dari
identifikasi dampak potensial.
Hasil Langkah 7
Diperoleh daftar komponen lingkungan dan fungsi lahan basah yang
berdasarkan Keputusan Kepala BAPEDAL tentang Pedoman Penentuan
Dampak besar dan Penting tergolong terkena dampak besar dan penting.
Lihat pula matrik pada lampiran 3-1 sebagai contoh.
Langkah 8
Tetapkan dampak penting (hipotesis) yang akan diteliti secara mendalam
dalam studi ANDAL
Hasil Langkah 8
Diperoleh daftar komponen lingkungan dan fungsi ekosistem lahan basah
yang harus diteliti secara mendalam pada studi ANDAL,yakni yang meliputi:
a. Potensial terkena dampak penting proyek berdasarkan hasil langkah 7;
b.Tidak dapat di evaluasi sifat pentingnya berdasarkan hasil langkah 7,
karena data/informasi tentang komponen lingkungan bersangkutan sangat
terbatas.
Komponen lingkungan dan fungsi ekosistem lahan basah yang tidak terkena
dampak penting tidak diteliti dalam studi ANDAL.
3.1.3 Pemusatan dampak besar dan penting (Focussing)
Tujuan pemusatan dampak besar dan penting adalah untuk
mengelompokkan dan mengorganisir dampak potensial yang telah
dirumuskan pada tahap evaluasi dampak potensial (butir 3.1.2.) dengan
maksud agar diperoleh isu-isu pokok lingkungan yang secara komprehensif
dapat menggambarkan:
a) Keterkaitan antara rencana kegiatan proyek dengan komponen
lingkungan yang akan terkena dampak besar dan penting;
b) Keterkaitan antar dampak besar dan penting yang telah di identifikasi
pada butir 3.1.2.
Langkah yang dapat ditempuh untuk memandu pemusatan dampak besar
dan penting adalah sebagai berikut:
Langkah 9
Kelompokan dampak besar dan penting Hasil Langkah 8 atas beberapa isu
pokok lingkungan.
Catatan Lanqkah 9
Dampak besar dan penting Hasil Langkah 8 dapat dikelompokkan ke dalam
beberapa isu pokok lingkungan melalui:
- Pengelompokkan berdasarkan konsentrasi persebaran dampak besar dan
penting di suatu lokasi, dan/atau
- Pengelompokkan berdasarkan struktur (komponen lingkungan) dan fungsi
tertentu dari ekosistem lahan basah yang terkena dampak besar dan
penting proyek.
Hasil Langkah 9
Diperoleh beberapa isu pokok lingkungan yang merefleksikan perubahanperubahan
pokok yang akan dialami ekosistem lahan basah yang bersifat
mendasar akibat adanya proyek.
Langkah 10
Urutkan isu-isu pokok lingkungan Hasil Langkah 9 menurut kepentingan dari
segi ekonomi, sosial maupun ekologi.
Hasil Langkah 10
Isu-isu pokok lingkungan berdasarkan kepentingan ekonomi, sosial dan
ekologi.
3.2 PELINGKUPAN WILAYAH STUDI
Pelingkupan wilayah studi yang dikembangkan di sini mengacu pada
lampiran 1 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Pedoman Penyusunan AMDAL, dan Lampiran II Keputusan Kepala
BAPEDAL Nomor: KEP-229/11/1996 tentang Pedoman Teknis Kajian
Aspek Sosial dalam Penyusunan KA-ANDAL.
Langkah 1
Buat batas proyek dengan cara:
a) Plotkan pada peta vegetasi/peta tata guna tanah/peta sistem lahan yang
tersedia, batas terluar kegiatan proyek dalam melakukan kegiatan pra
konstruksi, konstruksi dan operasi di daerah lahan basah. Termasuk dalam
hal ini alternatif lokasi kegiatan proyek. Hasil Langkah I dari butir 3.1.1
dapat digunakan untuk memandu hal ini.
b) Dalam batas proyek tersebut identifikasikan komunitas masyarakat dan/
atau lembaga-lembaga masyarakat (social institution) yang berpotensi
berubah secara mendasar akibat adanya proyek.
Catatan Langkah 1
Yang dimaksud dengan batas proyek adalah ruang dimana suatu rencana
usaha atau kegiatan/proyek akan melakukan kegiatan pra konstruksi,
konstruksi dan operasi. Ruang kegiatan proyek ini merupakan sumber
dampak terhadap lingkungan di sekitarnya.
Hasil Langkah 1
a) Diperoleh batas kegiatan proyek di daerah lahan basah di atas peta yang
digunakan.
b) Di dalam batas proyek dimaksud teridentifikasi komunitas masyarakat atau
lembaga-lembaga masyarakat yang akan terkena dampak penting
kegiatan proyek.
Langkah 2
Buat batas ekologis pada peta yang sama yang digunakan pada Langkah 1
dengan cara:
a) Plotkan batas terjauh dari transportasi limbah proyek, melalui media
air,terhadap ekosistem lahan basah di sekitarnya, dan/atau
b)Plotkan batas terjauh atau lokasi-lokasi tempat terjadinya gangguan atau
kerusakan terhadap fungsi ekosistem lahan basah sebagai akibat adanya
proyek.
c) Gabungkan hasil langkah a) dan b) sehingga menghasilkan batas ekologis.
Hasil Langkah 2 sampai 4 dari proses Identifikasi Dampak Potensial, dapat
memandu mengarahkan hal ini.
d) Di dalam batas ekologis tersebut identifikasikan komunitas masyarakat
dan/atau lembaga-lembaga masyarakat yang berpotensi berubah
mendasar sebagai akibat rusaknya sumber daya alam dan pencemaran
lingkungan yang ditimbulkan oleh proyek.
Catatan Langkah 2
Yang dimaksud dengan batas ekologis adalah ruang persebaran dampak dari
kegiatan proyek menurut media transportasi limbah (air, udara) dan/atau
menurut timbulnya kerusakan sumber daya alam, dimana proses-proses
alami yang berlangsung di dalam ruang tersebut diperkirakan akan
mengalami perubahan mendasar.
Hasil Langkah 2
a) Diperoleh batas ekologis di atas peta yang sama dengan yang digunakan
pada Langkah 1.
b) Dalam batas ekologis dimaksud teridentifikasi komunitas masyarakat atau
lembaga-lembaga masyarakat yang terkena dampak penting kegiatan
proyek.
Langkah 3
Buat batas sosial di atas peta yang sama yang digunakan pada Langkah I
dengan cara:
a) Plotkan lokasi komunitas masyarakat dan/atau lembaga-lembaga
masyarakat sebagaimana dimaksud pada Hasil Langkah 1 dan 2.
b) Plotkan lokasi komunitas masyarakat yang berada di luar batas proyek dan
batas ekologi namun berpotensi terkena dampak mendasar dari proyek
misalnya, melalui penyerapan tenaga kerja, pembangunan fasilitas umum
dan fasifitas sosial
Catatan Langkah 3
Yang dimaksud dengan batas sosial adalah ruang di sekitar proyek yang
merupakan tempat berlangsungnya berbagai interaksi sosial yang
mengandung norma dan nilaii tertentu yang sudah mapan (termasuk sistem
dan struktur sosial), yang diperkirakan akan mengalami perubahan mendasar
akibat proyek. Batas sosial dapat menyebar di beberapa lokasi dan dapat
lebih luas dari batas proyek atau batas ekologi.
Hasil Langkah 3
Diperoleh batas sosial di atas peta yang sama dengan yang digunakan pada
Langkah 1.
Langkah 4
Buat batas administratif di atas peta yang sama yang digunakan pada
Langkah I dengan cara:
Plotkan batas-batas kewenangan tertentu untuk mengatur/mengelola sumber
daya alam dan lingkungan tertentu yang keabsahannya diakui oleh lembaga
formal pemerintahan, swasta dan/atau lembaga lokal masyarakat setempat
Catatan Langkah 4
Yang dimaksud dengan batas administratif adalah ruang dimana lembagalembaga
masyarakat tertentu mempunyai kewenangan tertentu untuk
mengatur/mengelola sumber daya alam dan lingkungan tertentu berdasarkan
peraturan perundangan yang ada. Sebagai contoh adalah batas administratif
pemerintahan daerah; batas kuasa pertambangan; batas HPH. Di dalam
ruang tersebut masyarakat dapat sesara leluasa melakukan kegiatan sosial
ekonomi dan sosial budaya sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku:
Hasil Langkah 4
Diperoleh batas administratif di atas peta yang sama dengan yang digunakan
pada Langkah 1.
Langkah 5
Buat batas wilayah studi ANDAL di atas peta yang sama yang digunakan pada
Langkah 1 dengan cara:
a) Buat batas terluar dari gabungan batas proyek (Hasil Langkah 1), batas
ekologi (Hasil Langkah 2), batas sosial (Hasil Langkah 3), dan batas
administratif (Hasil Langkah 4).
b) Tetapkan batas wilayah studi ANDAL dengan mempertimbangkan hasil
kegiatan butir a) di atas dengan dana, waktu, dan tenaga yang tersedia.
Hasil Langkah 5
Diperoleh batas wilayah studi ANDAL pada peta yang sama dengan yang
digunakan pada Langkah 1. Batas dimaksud merupakan resultante dari batas
proyek, batas ekologi, batas sosial, batas administratif dan kendala teknis
yang dihadapi.
Gambar 3-1. Skema Proses Pelingkupan Dampak Penting dan Studi
BAB IV PENYUSUNAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN
4.1 OUTLINE/RANCANGAN STUDI
Outline penyusunan kerangka Acuan ANDAL, ANDAL; RKL dan RPL
kegiatan pembangunan di daerah lahan basah seperti yang dijelaskan
dalam Pedoman Penyusunan AMDAL. Karena itu, dalam panduan ini tidak
dijelaskan tentang outline tersebut.
4.2 METODE STUDI
4.2.1 Macam data dan informasi yang dikumpulkan
Pada bagian ini diutarakan macam data dan informasi yang akan
dikumpulkan dalam studi ANDAL Daerah Lahan Basah, yakni yang
meliputi:
a) Macam data dan informasi tentang rencana kegiatan proyek yang
dikumpulkan dalam studi ANDAL berdasarkan hasil proses
pelingkupan sebagaimana dimaksud pada Bab III terdahulu.
b) Macam data dan informasi tentang struktur dan fungsi ekosistem
lahan basah, termasuk yang tergolong terkena dampak penting,
yang dikumpulkan dalam studi ANDAL berdasarkan hasil proses
pelingkupan sebagaimana dimaksud pada Bab III terdahulu.
Data yang dikumpulkan tersebut melputi data primer dan data
sekunder. Dta primer merupakan data yang diperoleh langsung dari
sumber data. Adapun data sekunder merupakan data yang diperoleh
secara tidak langsung dari sumber data.
4.2.2 Wilayah studi ANDAL daerah lahan basah
Pada bagian ini dipaparkan wilayah studi ANDAL daerah lahan basah
dengan mengacu pada hasil proses pelingkupan sebagaimana dimaksud
pada Bab III terdahulu. Pada peta ini dicantumkan pula lokasi
pengamatan atau pengambilan contoh/sampel pada saat studi ANDAL
dilaksanakan.
4.2.3 Metode pengumpulan dan analisis data
Data dan informasi tersebut dikumpulkan dan di analisis dengan
maksud untuk:
a) mengetahui kondisi atau rona lingkungan hidup ekosistem lahan
basah sebelum proyek dibangun,
b) memprakirakan besar dampak lingkungan yang akan dialami oleh
struktur dan fungsi ekosistem lahan basah sebagai akibat adanya
proyek dengan menggunakan hasil kegiatan butir a).
c) mengevaluasi dampak lingkungan dari proyek terhadap struktur dan
fungsi ekosistem lahan basah secara holistik dengan menggunakan
hasil kegiatan butir a) dan butir b).
Data primer dikumpulkan melalui metode survei. Adapun data sekunder
diperoleh melalui pengumpulan data dari pihak ketiga.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam menetapkan metode pengumpulan
dan analisis data adalah:
a) Untuk menghasilkan data yang berkualitas keakuratan dan kemantapan
alat ukur merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Untuk itu
metode atau instrumen yang bersifat sahih dan reliabel merupakan pilihan
utama yang harus digunakan.
b) Dampak besar dan penting yang diakibatkan oleh proyek pada umumnya
tidak menyebar secara merata di seluruh komponen ekosistem lahan
basah serta di seluruh kelompok atau lapisan masyarakat yang terkena
dampak. Variabilitas ini harus dapat diketahui oleh penyusun ANDAL.
c) Mengingat ekosistem lahan basah yang dimaksud dalam panduan ini
merupakan ekosistem yang tergolong memiliki variabilitas dan
heterogenitas yang tinggi, dan dilain pihak dalam studi ANDAL diperlukan
prakiraan dampak yang tajam, maka dalam pengumpulan data atau
penarikan sampel perlu diperhatikan hal berikut:
- metode pengambilan contoh-(sampling) yang digunakan harus
disesuaikan dengan tujuan dan efisiensi pengukukuran,serta sifat dan
karakter komponen lingkungan yang diukur.
- Kejelasan satuan analisis yang akan diukur, misal untuk biologi pada
tingkatan komunitas, untuk aspek sosial berjenjang dari rumah tangga,
kampung, desa hingga kecamatan sesuai dengan parameter yang
hendak diukur.
- Lokasi pengambilan sampel harus dapat mewakili heterogenitas
persebaran dampak, yang meliputi: (1) daerah atau kelompok
masyarakat yang diprakirakan akan terkena dampak; dan (2) ; daerah
atau kelompok masyarakat yang diprakirakan tidak akan terkena
dampak sebagai lokasi rujukan/pembanding (reference station).
- Waktu pengambilan sampel harus dapat mewakili variabilitas harian,
bulanan atau musiman. Sebagai misal, dalam studi ANDAL di ekosistem
lahan basah yang terpengaruh gerak pasang surut air laut, saat
pengambilan sampel kualitas air harus dapat mewakili pola pasang
surut yang ada.
d) Khusus untuk aspek sosial, data dan informasi yang dikumpulkan agar
tidak hanya menggunakan ukuran-ukuran yang bersifat penting dari sudut
pandang pelaksana studi/pakar (etic) namun juga menurut pandangan
target group (kelompok/ masyarakat sasaran) di sekitar rencana usaha
dan/atau kegiatan (emic).
e) Kualitas data sekunder harus dicermati untuk itu diperlukan cross check
dengan data lain yang diperoleh.
Contoh metode pengumpulan dan/atau analisis data yang digunakan oleh
penyusun ANDAL dapat dilihat pada Tabel 4-1 sampai Tabel 4-3.
Tabel 4-1 Contoh Metode Pengumpulan dan Analisi data- Aspek Fisik Kimia
Tabel 4-2 Contoh Metode Pengumpulan dan Analisi data- Aspek Biologi
Tabel 4-3 Contoh Metode Pengumpulan dan Analisi data- Aspek Sosial
4.2.4. Metode prakiraan dampak dan evaluasi damnpak
Metode prakiraan dampak dan metode evaluasi dampak yang
digunakan dalam studi ANDAL Daerah Lahan Basah agar mengikuti
panduan yang terdapat pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Pedoman Penyusunan AMDAL.
4.3 URAIAN RENCANA DAN USAHA ATAU KEGIATAN
Dalam bagian ini deskripsi rencana kegiatan pembangunan kawasan
lahan basah hendaknya diuraikan secara rinci dan sistematis. Hal-hal
penting yang perlu dimuat antara lain adalah tentang (sebagian
diantaranya merujuk pada Bab III di depan):
1. Kegiatan pra konstruksi yang meliputi:
a) Kegiatan survei :
b) Kegiatan pembebasan lahan
2. Kegiatan konstruksi, yang meliputi :
a) Kegiatan yang bersifat merubah lahan/lansekap lahan:
i.Pengurangan/pembuangan lahan
ii. Penambahan/pengurukan lahan
iii. Pemadatan lahan
b) Kegiatan yang bersifat mengubah rejim hidrologi :
i. Pembangunan saluran drainase
ii. Kanalisasi sungai
iii. Pengalihan aliran
iv. Konstruksi dam
c) Kegiatan yang bersifat mengubah komposisi vegetasi :
i. Penebangan vegetasi
ii. Pemungungutan hasil
iii. Penanaman tanaman (penghijauan/reklamasi)
iv. Introduksi spesies asing
d) Kegiatan yang bersifat mengubah komposisi satwa :
i. Pengambilan/perburuan satwa
ii. Introduksi spesies asing
3. Kegiatan operasi, yang meliputi:
a) Kegiatan proses produksi yang menimbulkan pencemaran :
i. Minyak
ii. Kimia
iii. Radioaktif
iv. Limbah domestik
v. Limbah Industri
vi. Panas
vii. Udara
b) Kegiatan instalasi dan operasi pengolah limbah :
i. Limbah padat
ii: Limbah cair
iii. Limbah gas
c) Kegiatan pengambilan/pemanfaatan air untuk kebutuhan
domestik dan kebutuhan proses produksi :
i.air permukaan(sungai, danau)
ii. air tanah dalam
d) Kegiatan rekrutmen tenaga kerja
e) Kegiatan yang mendorong pengembangan wilayah :
i. Aksesibilitas wilayah
ii. Pusat-pusat pertumbuhan baru
Di berbagai jenis kegiatan tersebut usahakan dapat diutarakan perihal :
a) Disain teknik yang akan diaplikasikan. Mengingat studi ANDAL ini
dilakukan saat proyek berada pada tahap studi kelayakan ,
maka disain teknik yang diutarakan masih belum bersifat rinci
detail.
b) Alternatif lokasi, alternatif ruas jalan, atau alternatif disain teknik
yang sedang ditelaah
c) Jenis dan jumlah peralatan yang digunakan dalam kegiatan
konstruksi
d) Teknologi dan proses yang digunakan pada saat kegiatan operasi
e) Tenaga kerja yang dicurahkan.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penyusunan AMDAL dapat digunakan sebagai rujukan untuk
pengumpulan data dan informasi tentang rencana usaha dan/atau
kegiatan yang akan dibangun.
4.4 RONA LINGKUNGAN HIDUP
Rona lingkungan yang diutarakan dalam studi ANDAL kegiatan
pembangunan di daerah lahan basah pada dasarnya harus dapat
menggambarkan tentang:
a) struktur dari setiap tipe ekosistem lahan basah yang potensial terkena
dampak proyek terutama komponen lingkungan yang akan terkena
dampak penting sebagaimana dinyatakan pada butir 4.2.1.
b) fungsi dari setiap ekosistem lahan basah yang potensial terkena
dampak proyek terutama fungsi lingkungan yang akan terkena
dampak penting sebagaimana dinyatakan pada butir 4.2.1.
4.4.1 Struktur ekosistem lahan basah
Pada baqian ini diuraikan struktur ekosistem lahan basah saat proyek
belum dibangun dan beroperasi di daerah tersebut. Uraian disusun
berdasarkan sistematika sebagai berikut (hanya contoh saja).
1. Komponen Fisik-Kimia
a) Iklim, yang meliputi:
i. Curah hujan
ii. Suhu dan kelembaban nisbi udara
iii. Panjang penyinaran matahari .
iv. Kecepatan angin
b) Hidrologi, yang meliputi:
i. Tinggi dan elevasi muka air
ii. Debit dan pola aliran
iii.Tinggi, lama, dan frekuensi genangan/banjir
iv. Pola sedimentasi dan drainase
v. Sifat fisik dan kimia air permukaan
c) Tanah, yang meliputi:
i. Fisiografi; litologi
ii. Sifat fisik tanah
iii. Sifat kimia tanah
2. Komponen Biologi
a) Komunitas vegetasi
i. Keanekaragaman jenis/komunitas vegetasi
ii. Keanekaragaman jenis/komunitas biota air/phytoplankton
iii. Struktur dan komposisi vegetasi
iv.Jenis dan populasi vegetasi yang bernilai ekonomi tinggi
v. Jenis dan populasi vegetasi yang bernilai ekologi tinggi
vi. Zona habitat khusus dan plasma nutfah
b) Komunitas satwa liar
i. Keanekaragaman jenis/komunitas satwa liar
ii. Keanekaragaman jenis/komunitas biota air/zooplankton,
nekton
iii. Jenis dan populasi satwa liar bernilai ekonomi tinggi.
iv Jenis dan populasi satwa liar bernilai ekologi tinggi
v. Jenis dan populasi nekton yang bernilai ekonomi tinggi
vi. Jenis dan populasi nekton yang bernilai ekologi tinggi
vii. Jenis satwa liar yang langka dan/atau dilindungi
3. Komponen sosial ekonomi dan sosial budaya :
a) Kepadatan dan pertumbuhan penduduk
b) Persebaran penduduk
c) Peluang bekerja dan berusaha
d) Pemilikan dan penguasaan atas sumber daya alam
e) Persarana perhubungan air
f) Pemukiman penduduk
g) Fasilitas umum, pendidikan, kesehatan, dan peribadatan
h) Adat istiadat
i) Kelembagaan tradisional
j) Aktivitas perekonomi dan perdagangan
k) Sistem pertanian
l) Akulturasi dan asimilasi
m) Kesehatan masyarakat
n) Kesehatan lingkungan
4.4.2 Fungsi ekosistem lahan basah
Pada bagian ini diuraikan fungsi-fungsi ekosistem lahan basah yang saat
ini masih dimiliki oleh ekosistem bersangkutan sebelum proyek
beroperasi di daerah tersebut. Uraian disusun berdasarkan sistematika
sebagai berikut (hanya contoh saja).
1) Fungsi pemasok air (kualitas dan kuantitas air), yang berupa:
i. Pemanfaatan langsung oleh masyarakat
ii. Ke lokasi lain:
- Pasokan air ke aquifer (groundwater recharge)
- Pasokan air ke lahan basah lainnya
2) Fungsi pengendalian air, terutama pengendalian banjir
3) Fungsi pencegah intrusi air laut ke:
i. Air tanah
ii. Air permukaan
4) Fungsi lindung (dari kekuatan alam), yang berupa:
i. Perlindungan garis pantai dan pengendalian erosi
ii. Pemecah angin (windbreak)
5) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan sedimen
6) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan unsur hara
7) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan bahan-bahan beracun
8) Fungsi pemasok bahan-bahan yang bernilai ekonomi, seperti:
i. Kayu
ii.Ikan dan daging satwa (misal, rusa)
iii. Rotan, getah, dan obat
iv. Gambut
9) Fungsi pemasok bahan-bahan yang bernilai ekologi, seperti:
i. Bahan organik dan anorganik yang tertransportasi ke hilir ,
ii. Hara terlarut yang tertransportasi ke hilir
iii.Ikan dan burung-burung migran
10) Fungsi pemasok energi, misal: energi dari kayu, listrik-hidro
11) Fungsi transportasi/perhubungan
12) Fungsi bank gen bagi:
i. Spesies-spesies tumbuhan komersil
ii. Populasi satwa liar
13) Fungsi konservasi bagi:
i. Spesies langka dan dilindungi
ii. Habitat satwa liar dan tumbuhan penting
iii. Komunitas
iv. Ekosistem
v. Lansekap atau jenis-jenis lahan basah
14) Fungsi rekreasi dan pariwisata
15) Fungsi sosial budaya; yang diantaranya berupa:
i. Estetika lansekap
ii. Keagamaan dan spiritual
iii. Peninggalan sejarah
16) Fungsi sosial ekonomi, yang diantaranya meliputi:
i. Sumber mata pencaharian masyarakat setempat
ii. Tanah adat masyarakat setempat
17) Fungsi penelitian dan pendidikan
18) Fungsi pemeliharaan proses-proses alam, yang antara lain berupa:
i. Proses ekologi, geomorfotogi dan geotogi
ii. Rosot karbon (carbon sink)
iii. Pencegahan perluasan tanah sulfat masam
4.5 PRAKIRAAN DAMPAK PENTING
Bab tentang prakiraan dampak penting yang diutarakan dalam studi
ANDAL daerah lahan basah pada dasarnya harus dapat menggambarkan
tentang:
1) Analisis prakiraan dampak hanya dilakukan pada komponenkomponen
lingkungan yang potensial terkena dampak penting sebagaimana
dinyatakan pada angka 3.1.2 (Langkah 8: Komponen Dampak Penting
yang Ditelaah ANDAL). Dengan kata lain analisis prakiraan dampak
hanya ditujukan pada komponen-komponen tertentu dari struktur
ekosistem lahan basah yang terkena dampak penting.
2) Analisis prakiraan dampak yang dimaksud pada angka 1) di atas
meliputi kajian tentang arah dan besar dampak yang akan terjadi di
setiap tipe ekosistem lahan basah yang terkena dampak yang
dimaksud oleh angka 3.1.1 Langkah 2.
3)Prakiraan terhadap besarnya dampak lingkungan yang timbul dapat
dilakukan dengan dua metode, yaitu:
a) metode formal, yang antara lain meliputi model matematik, dan
metode grup eksperimen.
b) metode non-formal yang antara lain meliputi penilaian para ahli,
dan metode analogi
4) Sehubungan dengan proyek masih berada pada tahap studi
kelayakan, dimana masih dilakukan pemilihan alternatif kegiatan (misal
alternatif lokasi dan/atau teknologi yang digunakan), maka prakiraan
besar dampak sebagaimana dimaksud pada angka 1) dan 2) di atas
dilakukan untuk masing-masing alternafif kegiatan.
5) Prakiraan dampak pada komponen ekosistem lahan basah perlu
memperhatikan faktor-faktor berikut ini:
a) Ekosistem lahan basah banyak dijumpai berada antara ekosistem
daratan dan ekosistem pesisir/laut. Sebagai misal, zona rawa
lebak terkait dengan ekosistem daratan di atasnya,
sementara zona pasang surut terkait dengan ekosistem
pesisir/laut. Sehingga prakiraan dampak juga harus
memperhitungkan pengaruh faktor eksternal pada komponen
lingkungan yang tengah ditelaah secara mendalam untuk
keperluan ANDAL. Hal ini terutama perlu diperhatikan pada studi
AMDAL Kegiatan Terpadu dan AMDAL Kawasan.
b) Ekosistem lahan basah kebanyakan masih berwujud
alami,sehingga tingkat keanekaragaman hayati masih relatif
tinggi sehingga prakiraan dampak harus dilakukan pada seluruh
komponen ekosistem yang terkena dampak penting, sebagai
landasan untuk menilai totalitas dampak proyek terhadap fungsi
dari ekosistem lahan basah (untuk keperluan Bab Evaluasi
Dampak).
c) Daerah lahan basah umumnya merupakan medan yang berat dan
terisolasi sehingga kebanyakan desa yang ada tergolong miskin,
tradisional, dan berpendidikan rendah. Prakiraan dampak penting
aspek sosial dengan demikian harus mencermati kondisi sosial
budaya dan ekonomi masyarakat setempat.
6) Mengingat dikalangan komponen ekosistem lahan basah terdapat
keterkaitan dan ketergantungan yang tinggi, sebagaimana diutarakan
pada butir 5) di atas, maka dalam analisis prakiraan dampak (serta
evaluasi dampak) perlu diperhatikan pola aliran dampak yang dapat
terjadi sebagai berikut:
a) Mekanisme aliran dampak yang bersifat inter ekosistem:
- Proyek menimbulkan dampak penting pada komponen fisik
kimia kemudian menimbulkan rangkaian dampak lanjutan
berturut-turut terhadap komponen biologi dan sosial. Sebagai
contoh: proyek mengakibatkan erosi dan abrasi pantai yang
kemudian menimbulkan rangkaian dampak lanjutan pada
populasi biota akuatik yang bernilai ekonomi tinggi, dan
kemudian pada mata pencaharian penduduk setempat.
- Proyek menimbulkan dampak penting pada komponen biologi
yang kemudian membangkitkan dampak lanjutan pada
komponen sosial. Sebagai misal, proyek mengakibatkan
dampak negatif terhadap habitat satwa liar langka dan
dilindungi (gajah) yang kemudian membangkitkan dampak
lanjutan berupa gangguan gajah terhadap produksi pertanian.
- Proyek langsung menimbulkan dampak pada salah satu
komponen sosial dan kemudian berdampak lanjutan dikalangan
komponen sosial sendiri.
- Proyek menimbulkan dampak penting pada komponen biologi
dan kemudian menimbulkan dampak lanjutan terhadap
komponen fisik-kimia dan sosial. Sebagai misal, proyek
mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove. Kerusakan
pada ekosistem mangrove ini menyebabkan kerusakan pada
stabilitas pantai dan kemudian berdampak lanjutan pada
produksi tambak di pesisir
- Dampak besar dan penting yang diutarakan seluruhnya pada
huruf a) selanjutnya mengakibatkan dampak balik pada
kegiatan proyek.
b) Mekanisme aliran dampak yang bersifat antar ekosistem:
Dampak penting yang dialami suatu ekosistem akibat adanya
aktivitas tertentu dari proyek mengakibat dampak lanjutan pada
ekosistem lainnya. Sebagai contoh, kerusakan ekosistem hutan
bakau akibat kegiatan suatu proyek pembangunan dapat
mengakibatkan dampak lanjutan pada ekosistem terumbu karang di
perairan pesisir dan juga pada ekosistem rawa lebak yang terletak
lebih ke pedalaman.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penyusunan AMDAL dan Keputusan Kepala Bapedal tentang
Panduan Kajian Aspek Sosial dalam Penyusunan AMDAL, disarankan
digunakan pula sebagai acuan untuk prakiraan dampak penting.
Untuk mencapai maksud tersebut penulisan pada Bab ini perlu
dilakukan dengan langkah-tangkah sebagai berikut.
Langkah 1:
Prakirakan dampak penting dengan cara:
a) prakirakan besar dampak untuk setiap komponen dampak lingkungan yang
terdapat dalam angka 3.1.2, khususnya Langkah 8: Komponen Dampak Besar
dan Penting yang ditelaah dalam ANDAL
b) prakiraan dilakukan untuk setiap tipe ekosistem lahan basah yang terdapat
dalam angka 3.1.1 khususnya Langkah 2 : Identifikasi Tipe Ekosistem.
Hasil Langkah 1
Diperoleh data dan informasi perihal besar (atau magnitude) dampak yang
akan dialami oleh setiap komponen dampak penting dari setiap tipe ekosistem
tertentu yang terkena dampak kegiatan tertentu dari proyek.
Langkah 2
Lakukan hal yang sama seperti Langkah 1 di atas untuk setiap alternatif
kegiatan proyek menurut yang terdapat dalam angka 3.1.1 khususnya
Langkah 1: Identifikasi Rencana Kegiatan Proyek.
Hasil Langkah 2
Diperoleh prakiraan besar (atau magnitude) dampak yang akan dialami oleh
setiap komponen dampak penting dari setiap tipe ekosistem dan setiap
alternatif tertentu kegiatan proyek.
4.6 EVALUASI DAMPAK PENTING
Penulisan bab evaluasi dampak penting dimaksudkan untuk:
1) Mengevaluasi dampak berbagai alternatif kegiatan proyek secara
komprehensif/holistik, berikut dengan arti penting dari perubahan atau
dampak tersebut dari sudut ekologi dan sosial, sebagai bahan masukan
untuk pengambilan keputusan atas kelayakan lingkungan dari proyek.
2) Memberi arahan untuk penyusunan program-program pengelolaan
dan pemantauan lingkungan yang akan dituangkan dalam dokumen
Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan dokumen Rencana
Pemantauan Lingkungan (RPL).
Untuk mencapai maksud tersebut penulisan pada bab ini perlu diarahkan
sebagai berikut:
Langkah 1:
Di setiap tipe ekosistem yang terkena dampak; telaah secara komprehensif
perubahan seluruh komponen yang terkena dampak penting (atau dalam hal
ini perubahan struktur ekosistem lahan basah) akibat alternatif kegiatan
tertentu proyek, dengan cara:
a) telaah fenomena hubungan sebab-akibat yang potensial terjalin dikalangan
seluruh komponen dampak penting yang tercantum pada angka 4.5. (Hasil
Langkah 2), berikut dengan penyebab utama perubahan tersebut
b) telaah arti penting dari perubahan yang dimaksud pada huruf a) tersebut
dengan menggunakan Keputusan Kepala BAPEDAL tentang Pedoman
Penentuan Dampak Besar dan Penting.
Catatan Langkah 1
Penelaahan secara komprehensif fenomena hubungan sebab akibat dan
penyebab utama perubahan struktur ekosistem, dapat dilakukan melalui
metode matrik (misal, matrik Leopold), metode daftar uji berskala dengan
pembobotan (misal, Environmental Evaluation System), dan/atau metode
bagan alir.
Hasil Langkah 1
Di setiap tipe ekosistem yang terkena dampak menurut alternatif tertentu dari
proyek diperoleh sintesis komprehensif perihal:
a) fenomena perubahan struktur ekosistem: akibat adanya alternatif tertentu
dari proyek, berikut dengan penyebab utama perubahan tersebut.
b) arti penting dari berubahnya struktur ekosistem lahan basah dimaksud.
Langkah 2
Di setiap tipe ekosistem yang terkena dampak, telaah secara komprehensif
sejauh mana perubahan struktur ekosistem lahan basah yang dimaksud pada
Langkah 1 berpengaruh terhadap fungsi ekosistem, dengan cara:
a) telaah sejauh mana fungsi-fungsi ekosistem yang tercantum pada angka
3.1.1 (yakni langkah 4 proses pelingkupan), dan yang tercantum pada angka
4.4.2 (yakni Rona Lingkungan Hidup) akan berubah secara mendasar.
b) telaah arti penting dari perubahan yang dimaksud pada huruf a) tersebut
dengan menggunakan Keputusan Kepala BAPfDAL tentang Pedoman
Penentuan Dampak Besar dan Penting.
Hasil Langkah 2
Di setiap tipe ekosistem yang terkena dampak menurut alternatif tertentu dari
proyek diperoleh sintesis komprehensif perihal:
a) fenomena perubahan fungsi ekosistem, akibat adanya alternatif tertentu
dari proyek, berikut dengan penyebab utama perubahan tersebut.
b) arti penting dari berubahnya fungsi ekosistem lahan basah dimaksud
Langkah 3
Telaah kelayakan lingkungan dari kegiatan proyek, dengan cara:
a) Untuk setiap alternatif kegiatan proyek, lakukan telaahan sejauh mana
dampak besar dan penting yang ditimbulkan terhadap struktur dan fungsi
ekosistem lahan basah sebagaimana dimaksud pada Langkah 1 dan 2,
memenuhi Pasal 22 PP Nomor 21 Tahun 1999.
b) Bila seluruh alternatif kegiatan proyek memenuhi Pasal 22 PP Nomor 21
Tahun 1999, maka pilih alternatif yang paling minimum menimbulkan
dampak penting negatif terhadap ekosistem lahan basah.
Hasil Langkah 3
Diperoleh informasi perihat alternatif kegiatan proyek yang layak dari segi
lingkungan hidup.
Langkah 4
Dari alternatif kegiatan proyek yang layak dari segi lingkungan, rumuskan
arahan untuk RKL dan RPL dengan prioritas pada pencegahan dampak
lingkungan.
Hasil Langkah 4
Diperoleh langkah-langkah strategis untuk:
a) mencegah dan menanggulangi dampak penting negatif serta meningkatkan
dampak positif sebagai arahan untuk penyusunan dokumen Rencana
Pengelolaan Lingkungan (RKL),
b) memantau dampak penting negatif sebagai arahan untuk penyusunan
dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL).
BAB V PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN (RKL) DAN
RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN (RPL)
5.1 RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN (RKL)
5.1.1 Lingkup dokumen rencana pengelolaan lingkungan
Dokumen RKL, dalam pengertian generik, merupakan dokumen yang
memuat upaya, program dan/atau tindakan-tindakan untuk mencegah,
mengendalikan dan menanggulangi dampak penting lingkungan yang
bersifat negatif dan meningkatkan dampak positif yang timbul sebagai
akibat dari proyek.
Dalam pengertian tersebut upaya atau program pengelolaan lingkungan
di ekosistem lahan basah tersebut mencakup empat kelompok aktifitas,
yakni:
a) Pengelolaan lingkungan yang tujuan utamanya adalah untuk
mencegah timbulnya dampak penting yang bersifat negatif disaat pra
konstruksi, konstruksi, operasi maupun pasca operasi, misalnya melalui
pemilihan lokasi atau teknologi yang dapat mencegah rusaknya fungsifungsi
tertentu dari eksosistem lahan basah. Dalam konteks
pembangunan proyek di ekosistem lahan basah,pencegahan dampak
negatif merupakan prioritas utama mengingat sifat ekosistemnya yang
kompleks dan multi fungsi.
b) Pengelolaan lingkungan yang bertujuan untuk memanfaatkan ulang
(reuse), mendaur ulang (recycle), dan/atau mengurangi (reduce)
dampak penting yang bersifat negatif bila upaya, program atau tindakan
yang dimaksud pada huruf a) dari sudut ekonomi, teknologi dan sosial
tidak memungkinkan atau sulit untuk ditempuh
c) Pengelolaan lingkungan yang bertujuan untuk meingkatkan fungsifungsi
alami dari ekosistem lahan basah sehingga proyek memberi
dampak positif yang tidak hanya pada manfaat ekonomi saja.
d) Pengelolaan lingkungan yang bertujuan untuk memulihkan
merehabilitasikan fungsi-fungsi tertentu ekosistem lahan basah yang
terkena dampak penting negatif dari proyek sebagai kompensasi
terhadap rusak atau hilangnya fungsi-fungsi tertentu ekosistem di saat
pra-konstruksi, konstruksi dan operasi proyek.
Keempat bentuk pengelolaan lingkungan tersebut pada dasarnya
merupakan upaya, program atau tindakan untuk mencegah,
menanggulangi dan mengendalikan kerusakan komponen lingkungan
atau struktur ekosistem lahan bash. Dengan dicegah/ditanggulanginya
kerusakan struktur maka fungsi ekosistem lahan basah juga dapat
dicegah/ditanggulangi dari kerusakan akibat proyek.
5.1.2 Kedalaman dokumen rencana pengelolaan lingkungan
Mengingat dokumen AMDAL merupakan bagian dari studi kelayakan,
maka yang termuat dalam dokumen RKL adalah berupa pokok-pokok
arahan, prinsip-prinsip atau persyaratan untuk melaksanakan upaya,
program atau tindakan-tindakan yang diprioritaskan pada pencegahan
dampak penting yang bersifat negatif. Bila dipandang perlu dapat
dilengkapi dengan acuan literatur tentang rancang bangun untuk
pencegahan dan penqendalian dampak. Lebih lanjut pada Lampiran
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penyusunan AMDAL dipaparkan alasan yang melatar belakangi
kedataman dokumen RKL.
5.1.3 Struktur inti dokumen rencana pengelolaan Lingkungan
Inti dokumen RKL termuat butir yang memuat tujuh aspek berikut ini:
a) Komponen lingkungan terkena dampak penting yang dikelola
b) Tujuan pengelolaan lingkungan
c) Pengelolaan lingkungan
d) Waktu pengelolaan lingkungan
e) Pembiayaan pengelolaan lingkungan
f) Institusi pengelolaan lingkungan.
Perlu diperhatikan bahwa tujuh aspek pengelolaan lingkungan tersebut
diterapkan untuk setiap tipe ekosistem lahan basah yang terkena
dampak penting sebagaimana dimaksud pada angka 4.6 dari Bab IV di
muka, yakni Bab Evaluasi Dampak dari dokumen ANDAL.
a) Komponen lingkungan terkena dampak penting yang dikelola Pada
butir ini utarakan secara singkat komponen lingkungan yang terkena
dampak penting berikut dengan penyebabnya (menurut hasil ANDAL),
yang dipandang strategis untuk dikelola di suatu tipe ekosistem lahan
basah komponen lingkungan tersebut strategis untuk dikelola
berdasarkan pertimbangan:
a) Komponen lingkungan yang dikelola merupakan isu pokok lingkungan
sebagaimana dimaksud oleh hasil pelingkupan pada angka 3.1.2 Langkah
10, dan terkena dampak penting sebagaimana yang ditelaah pada angka
4.5 (Prakiraan Dampak Penting).
b) Dampak penting yang dikelola adalah yang tergolong banyak
menimbulkan dampak penting turunan (dampak sekunder, tersier,
kuarter dan selanjutnya) dan/atau yang banyak menimbulkan dampak
penting pada fungsi ekosistem lahan basah, sehingga bila dicegah/
ditanggulangi akan membawa pengaruh lanjutan pada dampak penting
turunannya. Pada bagian ini sekaligus diutarakan pula penyebab
timbulnya dampak penting. Penyebab dampak penting dimaksud dapat
mengacu pada Bab Prakiraan Dampak dan Bab Evaluasi Dampak dari
dokumen ANDAL sebagaimana tercantum pada angka 4.5.dan angka 4.6
di muka.
b)Tujuan pengelolaan lingkungan
Pada bagian ini utarakan secara spesifik tujuan dikelolanya dampak
penting di suatu tipe ekosistem lahan basah berikut dengan dampak
turunannya yang secara simultan akan turut tercegah/ tertanggulangi
(keterkaitan inter ekosistem).
Bila lebih dari 1 tipe ekosistem yang terkena dampak dan mengingat
adanya keterkaitan antar ekosistem sebagaimana diutarakan pada angka
4.5. maka pada bagian ini utarakan pula komponen lingkungan dari tipe
eksositem lahan basah lainnya yang akan turut tercegah/ tertanggulangi
dari kerusakan.
Pernyataan tujuan pengelolaan lingkungan dapat merujuk Lampiran
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL).
c) Pengelolaan lingkungan
Pada butir ini hendaknya diuraikan secara jelas upaya-upaya, program
atau tindakan untuk mencegah, menanggulangi dan mengendalikan
dampak negatif penting serta berbagai upaya untuk mengembangkan
dampak positif penting akibat kegiatan proyek.
Upaya, program atau tindakan pengelolaan lingkungan yang diutarakan
harus berciri sebagai berikut:
- Upaya, program atau tindakan pengelolaan lingkungan yang dijalankan
akan dapat mencapai tujuan pengelolaan lingkungan yang tercantum
pada huruf c).
- Upaya, program atau tindakan pengelolaan lingkungan yang dijalankan
merupakan kombinasi dari tiga pendekatan: teknologi, ekonomi atau
kelembagaan. Jika upaya pengelolaan lingkungan dilakukan melalui
pendekatan teknologi; maka sedapat mungkin dituangkan desain
teknologinya.
- Upaya, program atau tindakan pengelolaan lingkungan yang dijalankan
bermuara pada dilindungi atau dipertahankannya fungsi-fungsi ekosistem
lahan basah sebagaimana yang disebut pada halaman III-5 s/d III-6.
d) Waktu dan lokasi pengelolaan
Pada butir ini hendaknya dijelaskan tentang waktu dan lokasi
pengelolaan lingkungan dengan memperhatikan sifat dampak penting
yang dikelola (lama dampak berlangsung, sifat kumulatif, berbalik
tidaknya dampak) sebagaimana telah diutarakan pada angka 4.5. Lokasi
pengelolaan lingkungan sejauh mungkin dilengkapi pula dengan
peta/sketsa/gambar.
e) Pembiayaan pengelolaan lingkungan
Pembiayaan untuk pengelolaan lingkungan bersumber dari pemrakarsa
proyek. Biaya dimaksud antara lain meliputi: biaya investasi, biaya
operasi dan biaya pendidikan serta pelatihan keterampilan operasional
f) Institusi pengelolaan lingkungan
Uraian pada butir ini hendaknya mengacu pada makna yang terkandung
dalam Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Lingkungan.
5.2 RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN (RPL)
5.2.1 Lingkup dokumen rencana pemantauan lingkungan
Pemantauan lingkungan dapat digunakan untuk memahami fenomenafenomena
perubahan lingkungan yang terjadi mulai dari tingkat sekitar
proyek sampai ke tingkatan ekosistem, kawasan, atau bahkan regional,
tergantung pada skala kepentingan atau keacuhan terhadap isu
lingkungan yang timbul.
Pada ekosistein lahan basah pemantauan lingkungan setidaknya harus
mampu memantau perubahan-perubahan yang terjadi di sekitar proyek
dan di tingkatan ekosistem lahan basah yang terkena dampak.
Pemantauan merupakan kegiatan yang berorientasi pada data,
sistematik, berulang dan terencana. Dengan demikian kegiatan
pemantauan sangat berbeda dengan pengamatan yang bersifat acak dan
sesaat.
Tujuan utama dari dokumen RPL adalah sebagai pedoman untuk
melaksanakan upaya pemantauan lingkungan, sehingga RKL dapat
dijamin terlaksana secara efektif serta untuk mendeteksi perubahanperubahan
yang tidak terduga pada komponen lingkungan/ struktur dan
fungsi ekosistem lahan basah.
5.2.2 Kedalaman dokumen rencana pemantauan lingkungan
Kedalaman yang diinginkan dokumen RPL mengacu pada Lampiran
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Khusus ekosistem
lahan basah, selain 6 faktor yang diutarakan pada Keputusan Menteri
tersebut ada faktor lain yang perlu diperhatikan seperti diutarakan pada
paragrap berikut ini.
Pemantauan dapat dilakukan pada fungsi-fungsi ekosistem yang terkena
dampak penting sebagaimana dimaksud pada Bab Evaluasi Dampak dari
dokumen ANDAL (angka 4.6, Langkah 2). Pemantauan terhadap
komponen lingkungan yang terkena dampak sebagaimana dimaksud
pada Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, pada
dasarnya dapat dipandang sebagai pemantauan terhadap struktur
ekosistem.
5.2.3 Struktur inti dokumen rencana pemantauan lingkungan
Struktur inti dokumen RPL pada dasarnya harus mencakup:
a) Dampak penting dan indikator yang dipantau
b) Tolok ukur dampak
c) Tujuan pemantauan lingkungan
d) Metode pemantauan lingkungan (meliputi metode pengumpulan
dan analisis data, lokasi dan jangka waktu serta frekwensi
pemantauan)
e) Pembiayaan pemantauan lingkungan
f) institusi pemantauan lingkungan
Perlu diperhatikan bahwa enam aspek pemantauan lingkungan tersebut
diterapkan untuk setiap tipe ekosistem lahan basah yang terkena
dampak penting sebagaimana dimaksud pada angka 4.5 dan 4.6 yakni
Bab Prakiraan Dampak Penting dan Bab Evaluasi Dampak Penting dari
dokumen ANDAL.
a) Dampak penting dan indikator yang dipantau
Pada butir ini utarakan secara singkat komponen lingkungan yang
terkena dampak penting berikut dengan penyebabnya (menurut
hasil ANDAL), yang dipandang strategis untuk dipantau di suatu tipe
ekosistem lahan basah Komponen Lingkungan tersebut strategis
untuk dikelola berdasarkan pertimbangan:
- Komponen lingkungan yang dipantau hanyalah komponen
yang terkena dampak penting. Dengan demikian tidak seluruh
komponen lingkungan harus dipantau. Hal-hal yang dipandang
tidak penting atau tidak relevan tidak perlu dipantau.
- Komponen lingkungan yang dipantau mencerminkan isu
pokok lingkungan sebagaimana dimaksud oleh hasil
pelingkupan pada angka 3.1.2 Langkah 10, dan terkena
dampak penting sebagaimana yang ditelaah pada angka 4.5
(Prakiraan Dampak Penting) dan angka 4.6 (Evaluasi Dampak
Penting).
- Dampak penting yang dipantau adalah yang tergolong banyak
menimbulkan dampak penting turunan (dampak sekunder,
tersier, kuarter dan selanjutnya) dan/atau yang banyak
menimbulkan dampak penting pada fungsi ekosistem lahan
basah, sehingga dapat mencerminkan efektivitas pengaruh
pengelolaan lingkungan terhadap dampak penting turunannya.
- Komponen lingkungan yang dipantau mencerminkan
kelangsungan fungsi-fungsi tertentu dari ekosistem lahan
basah yang terkena dampak penting sebagaimana dimaksud
pada Bab Evaluasi Dampak dari dokumen ANDAL (angka 4.6,
Langkah 2).
Pada bagian ini juga diutarakan indikator dari komponen
dampak penting yang dipantau. Indikator adalah alat pemantau
(sesuatu) yang dapat memberikan petunjuk atau keterangan
tentang suatu kondisi. Semisal, indikator yang relevan untuk
kualitas air sungai (komponen lingkungan yang terkena
dampak penting) adalah BOD, suhu, warna, bau, kandungan
minyak terlarut.
b) Tolok ukur dampak
Pada butir ini jelaskan tolok ukur dampak yang digunakan untuk
menyatakan suatu komponen lingkungan terkena dampak kegiatan
tertentu: (proyek, sebagai misal). Tolok ukur dampak yang dima
disini dapat berupa baku mutu limbah cair, baku mutu lingku
keputusan pakar yang dapat diterima secara ilmiah, atau ketetapan
resmi suatu instansi.
Mengingat pada ekosistem lahan basah sebagian besar tolok ukur
dampak yang digunakan masih banyak yang bersifat kualitatif,
maka diperlukan kejelasan deskripsi dari tolok ukur dampak yang
hendak digunakan.
c) Tujuan pemantauan lingkungan
Pada bagian ini uraikan secara spesifik tujuan dipantaunya dampak
penting di suatu tipe ekosistem lahan basah berikut dengan
memperhatikan dampak penting yang dikelola, upaya/program/
tindakan pengelolaan lingkungan, serta dampak turunan yang
secara simultan akan turut tercegah/ tertanggulangi (keterkaitan
inter ekosistem).
Pernyataan tujuan pemantauan lingkungan dapat merujuk pada
Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan tentang Pedoman
Penyusunan AMDAL.
d) Metode pemantauan lingkungan
Uraian pada butir ini merujuk pada Lampiran Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan AMDAL.
e) Pembiayaan pemantauan lingkungan
Pembiayaan untuk kegiatan pemantauan lingkungan bersumber dari
pemrakarsa proyek. Biaya dimaksud antara lain meliputi: biaya
investasi, biaya operasi dan biaya pendidikan serta pelatihan
ketrampilan operasional bagi para karyawan.
f) Institusi pemantauan lingkungan
Uraian pada butir ini hendaknya mengacu pada makna yang
terkandung dalam Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Pedoman Penyusunan AMDAL.
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Dr.A Sonny Keraf
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Umum Kantor MENLH,
ttd
Nadjib Dahlan, SH
Lampiran 3-I
Matriks Interaksi Dampak Kegiatan Proyek dengan Komponen Lingkungan
Daerah Lahan Basah
Keterangan :
Lampiran 3-2.
Matriks Interaksi Dampak Kegiatan Proyek dengan Fungsi Ekosistem Lahan
Basah untuk Tipe Ekosistem: hutan bakau/hutan rawa payau/hutan rawa
bergambut/hutan rawa air tawar